"Bu, aku berhenti kuliah. Mumpung masih awal .., lebih baik aku fokus dulu pada penyakit Ibu."
"Kenapa kamu lakukan itu, Zam? Maaf, Ibu merepotkan kamu. Cita-citamu jadi terhenti karena Ibu .." nada yang lemah keluar dari mulut wanita tua itu. Sementara anak laki-lakinya menggenggam tangannya dengan erat. Dalam Hatinya, tak ingin menyesali bila sang ibu pergi tanpa ada usaha pengobatan sama sekali.
***
Breeng... Breeng... Breeng, Ngeeenggg...TIDIDDD!
Terdengar suara ribut di luar, Azam kecil belingsatan berlari ke arah jendela. Menatap teman-teman seusianya sedang bermain di halaman rumahnya yang luas. Tentu saja halaman rumah Azam menjadi begitu luas, rumahnya bersebelahan dengan Masjid, belum lagi ada lapangan luas tepat menambahi halaman rumahnya. Disitu lah teman-temannya biasa bermain, tapi kali ini dia hanya menatap mereka dari jendela. Azam adalah anak yang tahu waktu, begitu cara ibunya mendidik.
"Bu, lepas ashar aku boleh main 'kan?"
" Tentu sayang .., sekarang kamu kerjakan pe'ermu dulu."
"Kenapa sih, aku tak boleh bermain? lihat Bu, betapa serunya mereka bermain saat ini ..., jika aku bermainnya nanti, mungkin sudah tidak seru lagi ..." mulutnya mengkerut sambil menyilangkan tangannya di atas jendela, kemudian ia menoleh ke arah ibunya.
"Bukan tak boleh sayang, Ibu hanya menundanya saja, kamu boleh bermain nanti ya ... Apa tidak capek nantinya jika baru pulang sekolah langsung bermain? Bisa-bisa kamu lupa dengan pe'ermu."
"Oh iya, Ibu benar."
Tidak ada yang lebih dekat dari hatinya selain Ibunya. Azam sangat mencintainya sepenuh hati.
***
"Mas Azam, kenapa tidak pernah menjemput lagi ... Mas sudah bosan ya, denganku?" Perempuan yang cantik itu bicara pada Azam, ketika Azam keluar dari pintu kantornya tiba-tiba saja wanita itu sudah ada di sana.
"Bukan begitu, Mas sedang ada masalah. Di kerjaan sibuk, kuliah juga sedang ada UTS. Belum lagi, harus bolak-balik Bandung-Purwokerto."
"Tapi, bisa ngabarin lewat SMS 'kan .., jadi aku khawatir. Kirain, Mas kenapa-napa lagi ..."
"Maafkan Mas, Mey ... HP Mas sudah terlanjur dijual sebelum memberi kabar padamu."
"Dijual? Kenapa? Mas sedang kesulitan uang, Mas baik-baik saja kan?
"Mey, kamu tidak perlu khawatir. Mas menjualnya untuk biaya pengobatan Ibu di kampung. Nanti kalau ada rejekinya pasti kebeli lagi."
Lantas Azam mengajak Meyda ke suatu tempat. Tampaknya, ada hal yang ingin dibicarakan olehnya-hal yang lebih serius.
"Mey, kamu serius mau sama Mas? kamu tahu 'kan siapa Mas ini? Ya, Mas anak orang yang tak punya, orang kampung, dan cuma pegawai rendahan ..."
"Mas ini bicara apa sih? Tentu aku serius, Bukannya dari awal Mas yang berniat untuk serius 'kan? Masalah hati itu tak boleh dimain-main. Meskipun umurku masih muda, tidak ingin juga aku berganti-ganti pasangan. Dari awal pun aku hanya ingin punya hubungan yang serius untuk menikah ..."
"Maka dari itu, maafkan Mas ..., ya Mey?"
"Untuk apa 'sih Mas?"
"Mas tidak bisa mewujudkannya dalam waktu dekat ini, Ibu sakit dan perlu biaya, kuliahku pun masih berjalan walau tersendat. Maaf Mey, Mas bingung harus bagaimana? Mas minta kamu mau bersabar ..., tentu kalau kita berjodoh ..," Azam berhenti untuk menghela nafas, " Mas sangat berharap kita bisa berjodoh nantinya, tapi Mas tak bisa memastikan. "
"Aku tidak mengajakmu menikah sekarang 'kan Mas .., Aku baik-baik saja. Mas ini kenapa? Kalau hubungan kita mengganggu konsentrasi Mas saat ini, Aku rela menjauh untuk sementara ..., itukan yang Mas mau bilang?"
"Mas malu, Mey .., Kamu selalu bisa membaca hati Mas, kemana fikiran ini menuju. Tak ada yang sebaik kamu, Mey. Ibuku dan Kamu. Mas tak akan mengcewakan Kamu.Terimakasih untuk pengertianmu selama ini."
"Tak apa, sudah seharusnya kita saling mengerti .., oh ya .. Sebaiknya, Mas pakai saja HPku yang ini, sudah jarang dipakai juga 'kan aku masih bisa pakai HP yang satunya lagi. Setidaknya Mas masih bisa memonitor keadaan Ibu di kampung. Terima ya Mas? Jangan sungkan!"
Tidak salah Azam telah menambatkan hatinya pada wanita itu. Cantik, baik dan
sangat pengertian. Hati Azam sebenarnya tak tega bila harus menjauhinya untuk sementara. Tapi Azam tak ingin menyakiti hati wanita itu terlalu jauh, Azam sangat takut keadaannya membuat Meyda kecewa karena lama menunggu. Dulu Ia sepat berjanji untuk menikahi Meyda, walau kuliahnya belum beres.
****
'Zam, Ibu sakit lagi. Tadi pagi baru dibawa ke RS. Kalau kamu ada waktu, lebih baik kamu cepat pulang. Ibu bicara terus tentang kamu, Zam.' SMS dari Kakaknya di kampung. Gelisah, seketika menyeruak di hatinya. Ibu, apa Ibunya baik-baik saja?
HPnya menyala lagi, SMS dari Kakaknya yang kedua kali. 'Zam, Kamu itu bungsu yang paling dikhawatirkan Ibu. Kamu pulang saja sekarang, ada hal yang perlu kita bicarakan.'
Begitu selesai membaca SMS kali ini, Azam tak berfikir panjang. Dengan sigap Ia bersiap pulang ke Purwokerto.
Azam yang bekerja sebagai OB di kantornya itu langsung menghubungi pihak HRD, bahwa Ia harus segera pulang kampung. Tugasnya yang menjaga kantor siang dan malam kini dialihkan pada staf lain yang setingkat dengan jabatannya.
Azam pulang dengan kereta malam, untungnya sekarang bukan waktu liburan dan banyak kursi kosong di kereta. Rupanya selalu ada jalan kemudahan baginya untuk bisa mengunjungi ibunya.
Dalam perjalannannya, Azam melafadzkan segala do"a terbaik bagi sang Ibu. Cintanya, segalanya Ia kenang dan terlintas di pikirannya. Cinta ibunya yang membesarkan dia menjadi sesosok laki-laki yang selalu bersungguh-sungguh dalam mengejar cita- cita. Kebesaran hati Ibunya juga yang menggantikan kesedihan Azam yang ditinggal Ayahnya sejak Usia 10 tahun, hingga ia tak pernah kehilangan sosok sang Ayah. Ibu yang kuat dan tangguh. Matanya berkaca hampir menjatuhkan tetesan sebening kristal.
"Izinkan aku bertemu Ibu, Ya Allah..." Ia teringat pesan SMS dari Kakaknya. Azam gundah memikirkan apa yang sedang ataupun yang akan terjadi.
****
"Ibu harus dioperasi jantung, Zam .., kakak-kakakmu ini bingung. Kita sudah habis-habisan mengobati Ibu. Kali ini dana kami terbatas." Azam yang baru saja tiba di Rumah sakit menjadi semakin bingung.
"Berapa biayanya ... ?" Azam berbicara dengan tenang, setidaknya iapun harus menenangkan hati Kakak-kakaknya yang sedang bingung dan khawatir tentang kondisi Ibu.
" Sepuluh juta ..," jawab Kakak perempuannya, "Kemarin kita pegang uang lima belas juta, tapi tadi pagi saja sudah keluar tujuh jutaan. Kita bingung mau cari kemana lagi, Zam. Kamu punya simpanan tidak?"
"Ada, aku punya lima juta. Jika masih kurang aku akan pinjam ke kantor. Yang penting Ibu bisa sembuh."
'Tak apalah, pakai saja uang untuk bayar kuliah.' batin Azam. Sungguh tak tega melihat ibunya terbaring lemas di ruangan ICCU. Ia akan rela mengorbankan apapun demi Ibunya. 'Kuliah, nanti saja yang penting Ibu ..' kata hatinya sangat mantap.
Akhirnya, Ibunya merasakan meja Operasi.
***
Sudah 5 jam berlalu, Ibu keluar juga dari ruangan operasi itu. Khawatir berkecamuk di hati masing-masing anaknya, terlebih Azam. Si bungsu kesayangan Ibu.
Dokter belum mengizinkan ada orang lain berada di dekat pasiennya. Tunggu sampai Ibu siuman.
Alhamdulillah, setelah menunggu lagi sekitar 3 jam Ibunya siuman dan dalam beberapa hari Ibunya diperbolehkan pulang.
***
Setengah tahun paska operasi sang ibu, Azam tak pernah sekalipun melewatkan jadwal pulang kampungnya yang sebualan sekali. Ia rajin menengoki keadaan ibunya. Ibu tak tahu bahwa Azam sudah tak lagi kuliah. Azam mengurungkan cita-citanya jadi sarjana, Ia tak sanggup mengejar ketinggalan pembayaran biaya kuliahnya. Ia berhenti. Tapi Azam tak pernah menyesalinya sama sekali.Iia akan lebih menyesal jika operasi ibunya tidak dilakukan. Sebagai anak, separuh hatinya adalah milik ibu. Jika separuh hatinya pergi disia-siakannya tentu apa artinya hidup, jika itu sampai terjadi.
Akhirnya pada suatu kesempatan Azam memberi tahu ibunya bahwa ia sudah tidak kuliah lagi.
"Ya, aku berhenti, Bu. Tapi bukan berhenti bermimpi, aku akan benar-benar berhenti bermimpi jika waktu itu aku melepas Ibu begitu saja, Ibu jangan khawatir .., anakmu ini sudah besar. Tidak kuliah aku masih bisa mewujudkan hal lain 'kan Bu, menikah misalnya ..." Kali ini ia tersenyum menatap kedua bola mata Ibunya yang teduh. Berharap kata-katanya tidak dianggap candaan.
"Amin, semoga anak ibu jodohnya sudah dekat .." Hati Azam menjadi besar. Angannya menuju wajah Meyda yang setia menantinya.
Itulah jalan hidup, Azam hanya bisa mrencanakan dan berusaha memperoleh mimpinya. Mengejar gelar sarjana sambil bekerja. Kegagalan tidak membuatnya putus asa. Dia hanya berusaha melakukan yang terbaik pada nasib yang ada di hadapannya.
'Menikah dulu terus kuliah..' bisik hatinya, 'bukan hal tidak mungkin.., aku pasti bisa selama do'a Ibu menyertaiku.
www.shilpaderamstory.blogspot.com
Shilpa23yahya@gmail.com
@wiwigemini