Senin, 28 April 2014

Cinta Ibu, Cintaku kepadanya.



 "Bu, aku berhenti kuliah. Mumpung masih awal .., lebih baik aku fokus dulu pada penyakit Ibu."

"Kenapa kamu lakukan itu, Zam? Maaf, Ibu merepotkan kamu. Cita-citamu jadi terhenti karena Ibu .." nada yang lemah keluar dari mulut wanita tua itu. Sementara anak laki-lakinya menggenggam tangannya dengan  erat. Dalam Hatinya, tak ingin menyesali bila sang ibu pergi tanpa ada usaha pengobatan sama sekali.

***

Breeng... Breeng... Breeng, Ngeeenggg...TIDIDDD!

Terdengar suara ribut di luar, Azam kecil belingsatan berlari ke arah jendela. Menatap teman-teman seusianya sedang bermain di halaman rumahnya yang luas. Tentu saja halaman rumah Azam menjadi begitu luas, rumahnya bersebelahan dengan Masjid, belum lagi ada lapangan luas tepat menambahi halaman rumahnya. Disitu lah teman-temannya biasa bermain, tapi kali ini dia hanya menatap mereka dari jendela. Azam adalah anak yang tahu waktu, begitu cara ibunya mendidik.

"Bu, lepas ashar aku boleh main 'kan?"

" Tentu sayang .., sekarang kamu kerjakan pe'ermu dulu."

"Kenapa sih, aku tak boleh bermain? lihat Bu, betapa serunya mereka bermain saat ini ..., jika aku bermainnya nanti, mungkin sudah tidak seru lagi ..." mulutnya mengkerut sambil menyilangkan tangannya di atas jendela, kemudian ia menoleh ke arah ibunya.

"Bukan tak boleh sayang, Ibu hanya menundanya saja, kamu boleh bermain nanti ya ... Apa tidak capek nantinya jika baru pulang sekolah langsung bermain? Bisa-bisa kamu lupa dengan pe'ermu."

"Oh iya, Ibu benar."

Tidak ada yang lebih dekat dari hatinya selain Ibunya. Azam sangat mencintainya sepenuh hati.


***

"Mas Azam, kenapa tidak pernah menjemput lagi ... Mas sudah bosan ya, denganku?" Perempuan yang cantik itu bicara pada Azam, ketika Azam keluar dari pintu kantornya tiba-tiba saja wanita itu sudah  ada di sana.

"Bukan begitu, Mas sedang ada masalah. Di kerjaan sibuk, kuliah juga sedang ada UTS. Belum lagi, harus bolak-balik Bandung-Purwokerto."

"Tapi, bisa ngabarin lewat SMS 'kan .., jadi aku khawatir. Kirain, Mas kenapa-napa lagi ..."

"Maafkan Mas, Mey ... HP Mas sudah terlanjur dijual sebelum memberi kabar padamu."

"Dijual? Kenapa? Mas sedang kesulitan uang,  Mas baik-baik saja kan?

"Mey, kamu tidak perlu khawatir. Mas menjualnya untuk biaya pengobatan Ibu di kampung. Nanti kalau ada rejekinya pasti kebeli lagi."

Lantas Azam mengajak Meyda ke suatu tempat. Tampaknya, ada hal yang ingin dibicarakan olehnya-hal yang lebih serius.

"Mey, kamu serius mau sama Mas? kamu tahu 'kan siapa Mas ini? Ya, Mas anak orang yang tak punya, orang kampung, dan cuma pegawai rendahan ..."

"Mas ini bicara apa sih? Tentu aku serius, Bukannya dari awal Mas yang berniat untuk serius 'kan? Masalah hati itu tak boleh dimain-main. Meskipun umurku masih muda, tidak ingin juga aku berganti-ganti pasangan. Dari awal pun aku hanya ingin punya hubungan yang serius untuk menikah ..."

"Maka dari itu, maafkan Mas ..., ya Mey?"

"Untuk apa 'sih Mas?"

"Mas tidak bisa mewujudkannya dalam waktu dekat ini, Ibu sakit dan perlu biaya, kuliahku pun masih berjalan walau tersendat. Maaf Mey, Mas bingung harus bagaimana? Mas minta kamu mau bersabar ..., tentu kalau kita berjodoh ..," Azam berhenti untuk menghela nafas, " Mas sangat berharap kita bisa berjodoh nantinya, tapi Mas tak bisa memastikan. "

"Aku tidak mengajakmu menikah sekarang 'kan Mas .., Aku baik-baik saja. Mas ini kenapa? Kalau hubungan kita mengganggu konsentrasi Mas saat ini, Aku rela menjauh untuk sementara ...,  itukan yang Mas mau bilang?"

"Mas malu, Mey .., Kamu selalu bisa membaca hati Mas, kemana fikiran ini menuju. Tak ada yang sebaik kamu, Mey. Ibuku dan Kamu. Mas tak akan mengcewakan Kamu.Terimakasih untuk pengertianmu selama ini."

"Tak apa, sudah seharusnya kita saling mengerti .., oh ya .. Sebaiknya, Mas pakai saja HPku yang ini, sudah jarang dipakai juga 'kan aku masih bisa pakai HP yang satunya lagi. Setidaknya Mas masih bisa memonitor keadaan Ibu di kampung. Terima ya Mas? Jangan sungkan!"

Tidak salah Azam telah menambatkan hatinya pada wanita itu. Cantik, baik dan 
sangat pengertian. Hati Azam sebenarnya tak tega bila harus menjauhinya untuk sementara. Tapi Azam tak ingin menyakiti hati wanita itu terlalu jauh, Azam sangat takut keadaannya membuat Meyda kecewa karena lama menunggu. Dulu Ia sepat berjanji untuk menikahi Meyda, walau kuliahnya belum beres.



****

'Zam, Ibu sakit lagi. Tadi pagi baru dibawa ke RS. Kalau kamu ada waktu, lebih baik kamu cepat pulang. Ibu bicara terus tentang kamu, Zam.' SMS dari Kakaknya di kampung. Gelisah, seketika menyeruak di hatinya. Ibu, apa Ibunya baik-baik saja?

HPnya menyala lagi, SMS dari Kakaknya yang kedua kali. 'Zam, Kamu itu bungsu yang paling dikhawatirkan Ibu. Kamu pulang saja sekarang, ada hal yang perlu kita bicarakan.'


Begitu selesai membaca SMS kali ini, Azam tak berfikir panjang. Dengan sigap Ia bersiap pulang ke Purwokerto.

Azam yang bekerja sebagai OB di kantornya itu langsung menghubungi pihak HRD, bahwa Ia harus segera pulang kampung. Tugasnya yang menjaga kantor siang dan malam kini dialihkan pada staf lain yang setingkat dengan jabatannya.

Azam pulang dengan kereta malam, untungnya sekarang bukan waktu liburan dan banyak kursi kosong di kereta. Rupanya selalu ada jalan kemudahan baginya untuk bisa mengunjungi ibunya.

Dalam perjalannannya, Azam melafadzkan segala do"a terbaik bagi sang Ibu. Cintanya, segalanya Ia kenang dan terlintas di pikirannya. Cinta ibunya yang membesarkan dia menjadi sesosok laki-laki yang selalu bersungguh-sungguh dalam mengejar cita- cita. Kebesaran hati Ibunya juga yang menggantikan kesedihan Azam yang ditinggal Ayahnya sejak Usia 10 tahun, hingga ia tak pernah kehilangan sosok sang Ayah. Ibu yang kuat dan tangguh. Matanya berkaca hampir menjatuhkan tetesan sebening kristal.

"Izinkan aku bertemu Ibu, Ya Allah..." Ia teringat pesan SMS dari Kakaknya. Azam gundah memikirkan apa yang sedang ataupun yang akan terjadi.

****

"Ibu harus dioperasi jantung, Zam .., kakak-kakakmu ini bingung. Kita sudah habis-habisan mengobati Ibu. Kali ini dana kami terbatas."  Azam yang baru saja tiba di Rumah sakit menjadi semakin bingung.

"Berapa biayanya ... ?" Azam berbicara dengan tenang, setidaknya iapun harus menenangkan hati Kakak-kakaknya yang sedang bingung dan khawatir tentang kondisi Ibu.

" Sepuluh juta ..," jawab Kakak perempuannya, "Kemarin kita pegang uang lima belas juta, tapi tadi pagi saja sudah keluar tujuh jutaan. Kita bingung mau cari kemana lagi, Zam. Kamu punya simpanan tidak?"

"Ada, aku punya lima juta. Jika masih kurang aku akan pinjam ke kantor. Yang penting Ibu bisa sembuh."

'Tak apalah, pakai saja uang untuk bayar kuliah.' batin Azam. Sungguh tak tega melihat ibunya terbaring lemas di ruangan ICCU. Ia akan rela mengorbankan apapun demi Ibunya. 'Kuliah, nanti saja yang penting Ibu ..' kata hatinya sangat mantap.


Akhirnya, Ibunya merasakan meja Operasi.


***

Sudah 5 jam berlalu, Ibu keluar juga dari ruangan operasi itu. Khawatir berkecamuk di hati masing-masing anaknya, terlebih Azam. Si bungsu kesayangan Ibu.

Dokter belum mengizinkan ada orang lain berada di dekat pasiennya. Tunggu sampai Ibu siuman.


Alhamdulillah, setelah menunggu lagi sekitar 3 jam Ibunya siuman dan dalam beberapa hari Ibunya diperbolehkan pulang.



***


Setengah tahun paska operasi sang ibu, Azam tak pernah sekalipun melewatkan jadwal pulang kampungnya yang sebualan sekali. Ia rajin menengoki keadaan ibunya. Ibu tak tahu bahwa Azam sudah tak lagi kuliah. Azam mengurungkan cita-citanya jadi sarjana, Ia tak sanggup mengejar ketinggalan pembayaran biaya kuliahnya. Ia berhenti. Tapi Azam tak pernah menyesalinya sama sekali.Iia akan lebih menyesal jika operasi ibunya tidak dilakukan. Sebagai anak, separuh hatinya adalah milik ibu. Jika separuh hatinya pergi disia-siakannya tentu apa artinya hidup, jika itu sampai terjadi.

Akhirnya pada suatu kesempatan Azam memberi tahu ibunya bahwa ia sudah tidak kuliah lagi.

"Ya, aku berhenti, Bu. Tapi bukan berhenti bermimpi, aku akan benar-benar berhenti bermimpi jika waktu itu aku melepas Ibu begitu saja, Ibu jangan khawatir .., anakmu ini sudah besar. Tidak kuliah aku masih bisa mewujudkan hal lain 'kan Bu, menikah misalnya ..." Kali ini ia tersenyum menatap kedua bola mata Ibunya yang teduh. Berharap kata-katanya tidak dianggap candaan.

"Amin, semoga anak ibu jodohnya sudah dekat .." Hati Azam menjadi besar. Angannya menuju wajah Meyda yang setia menantinya.

Itulah jalan hidup, Azam hanya bisa mrencanakan dan berusaha memperoleh mimpinya. Mengejar gelar sarjana sambil bekerja. Kegagalan tidak membuatnya putus asa. Dia hanya berusaha melakukan yang terbaik pada nasib yang ada di hadapannya.

'Menikah dulu terus kuliah..' bisik hatinya, 'bukan hal tidak mungkin.., aku pasti bisa selama do'a Ibu menyertaiku.






www.shilpaderamstory.blogspot.com
Shilpa23yahya@gmail.com
@wiwigemini














Minggu, 27 April 2014

Dicap bohong itu sakit, Marisol!

"Kamu bicara apa?" Ibu guru menanyaiku.

"Itu Bu, rok yang Eli pakai itu punyaku. Tadi dia langsung pake baju olah raga dari rumah Bu .., itu punyaku." Aku bersikeras Eli telah mengambil dan memakai rok seragam sekolahku. Hari ini ada penjaskes biasanya akupun langsung memakai pakaian olah raga, tapi karena pulang sekolah nanti aku mau ke tempat ibu, jadinya aku rangkap celana olahragaku dengan rok merah itu.

Tapi selepas olah raga, kemana perginya rokku? Loh, ko temanku  jadi pakai rok, tadi kan dia tidak pakai. 

Saat kutanya dia langsung berkilah. Padahal sudah jelas itu rok yang kupakai tadi sebelum jam olahraga dimulai. Sangat yakin itu rokku karena aku menandainya dengan tip-ex dibagian bawahnya.

Kulaporkan Bu Guru, apa yang terjadi? Bi Guru malah bilang, aku tak boleh berbohong.

Sampai sekarang masih aku ingat kejadian itu. Guru itu, temanku yang itu juga tak pernah kulupakan. Aku hanya tertawa, sebegitu tak berartinya aku di masa lalu. Bahkan untuk percaya pun, Guruku sendiri tak mengusahakannya untukku.

Tak sekali itu saja, temanku yang satu itu pandai sekali berbohong. Dan sering kali aku yang jadi korban. Tapi setelah kelas 6, semua teman jadi tahu sifatnya. Hanya Guru itu yang belum tahu kebenarannya, ya bikin aku penasaran seumur hidup.
Hal semacam ini juga yang membuat aku malas sekolah. Kalau sekarang istilahnya "dibully" mungkin ya, dulu aku sering diperlakukan tidak adil. Makanya, aku tumbuh jadi orang yang emosional.

Aku tidak menyalahkan siapapun atas diriku sekarang. Tapi aku hanya mau bilang, yang namanya luka benar-benar membekas dan susah untuk hilang, apalagi dalam benak anak kecil, sampai dewasapun ia akan membawanya.

Dicap bohong itu sakit, Marisol!

Sabtu, 26 April 2014

Jangan jadi orang yang gak tahu malu!

Seringkali, kebanyakan dari kita mengurungkan niat untuk berbuat suatu perkara dengan alasan malu. Saya juga sering mengatakan alasan malu, padahal ada alasan lain yang enggan diutarakan jadinya saya tolak dengan alasan yang simpel yaitu "malu".

 Tahukah kamu bahwa rasa malu itu wajib dimiliki oleh semua orang, karena hal itulah yang menjadikan diri kita dinamakan makhluk yang bermoral, adanya rasa malu menunjukan bahwa kita mengenal etika. Kita hidup tidak sendiri alias kita ini manusia yang tak dapat hidup terlepas dari lingkungan sosial. Tapi tahukah bahwa rasa malu itu dapat membawa pada hal yang positif dan negatif tergantung kita menseting rasa malu yang ada di mindset kita.

Untuk tahu apakah rasa malu yang kita miliki itu berdampak baik atau buruk, kita harus menelaah lebih dalam dan memilah mana rasa malu yang harus dienyahkan dan mana rasa malu yang harus di kembangkan.

Kita harus tahu dulu kapan dan mengapa rasa itu muncul? dan kita juga harus membedakan mana rasa malu dan mana rasa gengsi yang tidak perlu. Ingat bahwa malu bisa menjadi kunci sukses Contohnya ketika kita merasa malu menjadi manusia yang selalu tergantung pada orang lain, kita berusaha berjuang sekuat tenaga menjadi manusia yang lebih bermanfaat dan menekan rasa gengsi (malu yang negatif). Sering kali banyak orang yang menilai pekerjaan baik buruknya dengan gengsi, misalkan kita menilai bekerja sebagai tukang sampah adalah hal yang memalukan. atau bekerja menjadi pengasuh itu lebih melalukan  dari pada menjadi perawat . Sesungguhnya pekerjaan yang baik, yang tidak mendatangkan malu itu bukan diciptakan dari seberapa besar penghasilannya, selama itu tidak merugikan orang lain dan tidak berbuah dosa tentu kita tidak harus merasa malu.

Zaman sekarang malu yang berkembang adalah malu yang negatif. Saya pun kadang merasa begitu..(harus ke bengkel hati ini mah...) pernah ga ngerasa malu karena pake hape jadul, baju lusuh, muka berminyak dll? Tapi apa sebenarnya itu perlu? ga usahlah melebay-lebaykan malu yang gak penting. Malu yang penting itu malu yang dapat merubah kita pada hal-hal yang baik. Misalkan kita malu menjadi pegawai yang dapet gaji buta, untuk itu kita harus berubah lebih produktif dalam pekerjaan yang insyaallah nantinya, rejeki kita yang diperoleh dari pekerjaan itu lebih barokah. Malu yang penting itu salah satunya adalah jadi orang cantik tapi dermawan sekali, lihat-lihatin bodynya secara gratisan, harusnya malu itu ada dalam situasi seperti ini. Ya malu yang positif wajib dikembangkan, tentunya bagi kita yang ingin selalu memperbaiki diri dan takut kehilangan arah dalam hidup. Begitupun malu yang negatif jangan dipelihara karena akan menggusur kita ke arah kemelaratan. Karena malu yang tidak pada tempatnya bisa berubah menjadi gengsi yang berlebihan dan menjuruskan kita pada gaya hidup yang hedonisme.

Tahukan kamu malu yang positif? So, jangan jadi orang yang gak tahu malu...

 Ayo, semangat menuju kebaikan..!

Postingan nyangkut, bagaimana?

Saya masih terbilang baru dalam mengenal blog. Untuk itu saya sangat merasa perlu untuk belajar. Meskipun saya rasa kemampuan saya teramat tertinggal bila dibandingkan dengan para pendahulu saya di dunia blog ini. Banyak sekali langkah-langkah atau hal yang belum saya ketahui caranya untuk menyusun satu blog yang bagus dan menarik. Saya sering membaca artikel-artikel dari para pendahulu saya, tapi begitu banyak hal yang belum saya fahami. karena mungkin level topik yang dibicarakan belum setingkat dengan saya yang masih sangat meraba di dunia blog ini. Ya, saya belajar sambil meraba, karena kenyataannya begitu. Meskipun saya bisa melihat dengan kacamata minus 1,75 tapi saya belum bisa melakukan hal-hal yang telah dipandukan oleh para pendahulu saya yang sudah sukses dengan blognya. Minimal tampilan yang bagus saja, saya terlalu katro,hehe.. sudah diajarkan langsung mengaplikasikannya pada blog saya yang jadi kuburan dulu. tapi mau diaplikasikan ke blog ini, saya malah lupa caranya.

Sebelumnya saya lebih sering posting tulisan amburadul saya lewat hp android. Lebih praktis sih.., tapi sangat terbatas. Terakhir, saya sempat posting tulisan beserta gambar tapi malah lama sekali prosesnya terus-terusan dan tidak berhenti akhirnya saya restrart hp saya.Si postingan masih dalam poses untuk dipublish, tapi masih bisa dibuka filenya akhirnya saya putuskan untuk menyimpannya di dalam draf. Tadinya mau diperkecil ukuran gambarnya, kalau-kalau itu yang menyebabkan prosesnya begitu lama. Tapi apa yang terjadi? saya lihat postingan itu tidak ada di dalam draf saya. tidak juga di dalam file yang sudah dipublish. Saya hanya bisa mendapatkannya dalam daftar keseluruhan file., tapi file itu tidak dapat dibuka seperti terkunci. dan keterangannya tertulis "saved". Itu yang terlihat di tampilan hp saya. Ketika saya membukanya dengan PC, file itu tidak ada di manapun baik di daftar postingan ataupun di dalam draf. Aneh bagaimana membuat file itu bisa di posting lagi ya, ide untuk menulis hal yang sama seperti file itu sudah hilang dan lenyap.. hadeuh... bukan sesuatu yang penting sih buat orang lain, karena isinya cuma curhatan saya saja.. tapi rasanya sayang jika keberadaannya menjadi misteri.. Bagaimana ya?

Senin, 21 April 2014

Siapa bayi itu?

Bertahun silam melegendalah sebuah kisah di kehidupanku.

Seorang ibu muda, cantik dan tengah hamil tua memiliki suami yang sakit-sakitan karena usia yang menua.

Saat sang suami diambang usia yang kian mengkerut dan kepayahan menghadapi setiap nafas yang berat. Sang suami memberinya mandat, bagaikan seorang kepala negara memberikan perintah pada sang menteri. Dengan kondisinya yang tak dapat lagi berbicara akibat tergerus penyakit, dituliskannyalah sebuah surat. Bisa dibilang itu sebuah wasiat yang ia tujukan untuk anaknya (dari istri sebelumnya) yang telah dewasa dan yang paling ia percayai.

Apa isi surat itu?

Surat itu merupakan sebuah pesan dari sang ayah untuk anaknya, agar mau merawat anak yang kelak akan dilahirkan oleh istrinya.

Apa yang terjadi?

Ketika ibu muda itu melahirkan, begitu singkat sekali waktu yang dirasakan bagi bayi itu untuk ada di pelukan ibunya.

Saat bayi baru berusia 4 bulan sang bayi diboyong menjauhi ibu kandungnya dan diasuh dengan kasih sayang oleh sang kakak.

Ketika Ajal menjemput pria renta tak berdaya. Apa yang terjadi pada bayi itu?

Si bayi telah berusia 5 tahun, dan terlalu dini untuk menghadapi kenyataannya. Disembunyikanlah status dirinya.

Apa yang ia tahu saat pemakaman ayahnya?

Yang ia tahu itu pemakaman kakeknya

Sedih, sedih bagi orang yang tahu kebenaranya.

Lebih sedih dan sakit saat bayi itu tau kebenarannya. Kecewa, terlalu banyak kebohongan di sekitarnya.

Terlebih saat semua terbongkar tak ada pengakuan yang dapat menghapus kecewanya. Masih saja ia merasa terbuang di tengah hidupnya yang seharusnya bersinar karena kebenaran telah terungkap.

Ibu, ibu, dia hanya ingin ibunya menyapu setiap bulir air mata kecewanya. Meredam amarah yang sempat ia rasakan. Tak bisakah itu terjadi?

Tuhan, siapa bayi itu?

Bayi itu kini telah memiliki bayi yang sudah besar. Kini diapun merasakan suka duka menjadi ibu. Rasa sakitnya yang dulu membuat ia membandingkan dirinya dengan ibu kandungnya, apa ia lebih baik? Hanya Tuhan yang tahu.

Yang ia rasakan hanya ingin berbuat yang terbaik untuk anaknya, tapi apa itu yang ibunya dulu lakukan? Entahlah begitu banyak hal yang kita tidak tahu di dunia ini. Begitupun dengan hati manusia. Hati ibu yang membiarkan anaknya pergi. Dan hatiku. Kenapa hatiku? Jawabannya, karena siapa bayi itu? Ya, dia itu aku.

Aku yang pernah merasa tebuang, kecewa dan terluka. Aku menyembuhkan lukaku sendirian... Tiada yang dapat mengobati hati selain pemiliknya. Itu yang berusaha aku lakukan dengan dukungan orang-orang yang mencintaiku sekarang..

Minggu, 20 April 2014

Sedihku di Kebun binatang..

Kejadian ini sudah lama..

Aku, Papi dan Faiz main ke Kebun Binatang. Kita bareng rombongan dari kerjaan Papi yang baru.

Minggu pagi yang cerah, di fikiranku.

Aku sibuk ngejar-ngejar anak kancil yang ari tadi gak mau diam.
"Aduh.. Faizzz..." teriakku, "capek.. ah Pi."

"Siapa suruh pake wedges?" Balasnya.

Uh sebel, gara-gara wedges ini jadi gak bebas bergerak. Pegel!
Sedih main di Kebun Binatangnya jadi gak asyik. Belum lagi Faiz yang parno sama gajah. Ah, jadi gak seru kan?

Setelah berkeliling dan menunggu sekitar satu jam akhirnya rombongan lengkap. Papi dan semua teman-temannya. Oh, ada juga dia. Kok, aku jadi sakit hati ya melihatnya? Iya benar itu dia teman Papi yang ada di contact BBM papi.

Jadi benar ya itu istrinya. Tidak ya Allah jangan sampai Papi seperti laki-laki itu. Suasana yang senang ini jadi terganggu karena aku jadi banyak mikir tentang perempuan itu. Iya, istrinya teman Papi itu.
Aku kasihan padanya.

Melihat mereka berdua begitu bahagia. Mungkin itu yang dirasakan perempun itu, tepatnya aku tak tahu. Tapi melihat isi contact BBM papi waktu itu aku jadi ikut sakit hati. Kenapa?

Pria itu punya BB dua, semuanya ada di daftar contact BBM papi.
Dengan PP dia bersama wanita yang berbeda. Kok bisa? Setelah kutanya papi, akhirnya aku tahu. Itulah bisa-bisanya laki-laki. Jadi sedih mikirin perasaan orang.

Papi jangan gitu ya?! Jangaaaaannn!

Merananya Lara

Namaku Lara, seumur hidup aku menjomlo. Bukan karena tak cantik tapi aku seperti terhapus dari dunia ini. Semua karena ibuku, maaf bukan maksudku menyalahkannya.

"Lara itu kan gadis yang cantik, udah gitu pinter lagi. Ya jangan gegabah mana mau saya jodohkan anak saya itu dengan laki-laki yang kemarin kamu bawa. Kamu ini gimana sih?" Kata itu yang selalu ibu ucapkan ketika ada yang mendekatiku tapi tak cocok dengan selera ibu.

Semua bukan tentang pilihanku tapi tentang selera ibu.

Pernah satu hari aku mengajak teman-teman kuliahku untuk mengerjakan tugas di rumahku. Kami berkelompok dan semua berbaur laki-laki dan perempuan. Ketika itu ada Dodi yang selalu dekat dan perhatian padaku. Dodi itu seorang yang supel dan mudah bergaul. Saat di rumahku, ibu menjadi terlalu memperhatikan kami.

"Oh ini ya, teman-temannya Lara? Ibu senang kalian mau datang temenin Lara. Sering-sering ya main kemari." Ibu ucapkan kalimat itu pada semua temanku saat mereka pamit pulang, tapi tidak saat mereka pergi dari pandangan kami. "Ibu tidak suka Ra dengan teman-teman laki-lakimu itu. Siapa dia yang begitu cari perhatian terhadapmu? Jangan pernah memilih laki-laki seperti itu. Mudah bergaul dan bersikap cuek. Cari itu laki-laki yang sopan, mapan dan sudah jelas masa depannya.." buntutnya ibu menceramahi aku panjang lebar dan lagi-lagi semua tentang seleranya.

Ia itu dulu. Aku selalu mengeluh tentangnya pada Bapak. Bagaimana tidak? Usiaku sudah kepala tiga, standar selera ibu tidak berubah. Harus lelaki kaya, tampan. Ah entahlah, bahkan di saat ada yang bersungguh-sungguh padaku selalu aja ada kurangnya di mata ibu. Bapak tak bisa menolongku, dia hanya bilang aku harus bersabar dengan sikap ibu yang mungkin nanti ada baiknya.

Aku sering heran dengan sikap ibu, saat usiaku menjelang 40 tahun. Ia menjadi lebih pemarah. Dia selalu marah bila ada keluarga yang menikahkan anak gadisnya, mungkin ia cemburu tapi haruskah? Bukankah dia yang teralu pemilih dan akhirnya aku sepetti ini? Tetap saja ia tak mau di salahkan. Dengan usiaku yang sudah tak lagi belia. Ibu akhirnya sedikit menurunkan kriterianya.

"Yang pentung bertanggung jawab." Katanya padaku.

Apa yang terjadi? Sampai saat inipun aku belum menikah. Aku terlalu dewasa untuk jadi seorang istdi yang akan menjadi seorang patuh pada suami yang lebih muda. Belum lagi aku jadi terlalu mapan untuk srmua calon yang berdatangan. Semua jadi serba salah. Karena alasan itu akhirnya mereka mundur. Ada juga yang datang dan percaya diri ingin mempersunting aku. Tapi apa? Akhirnya ketahuan juga dia ingin menipu kami. Ibu yang terlalu bersemangat menikahkan aku. Akhirnya uang ibu raib begitupun dengan motor bapak. Ternyata aku cuma dijadikan modus.

Tak bisa aku salahkan ibu. Makin tidak bisa karena ibu kini sudah tiada bahkan bari sebulan ini bapak ikut menyusul ibu. Tak bisa aku salahkan nasib, apalagi Tuhan..

Usiaku kini menjelang 50 dan tetap masih sendiri..

Jumat, 18 April 2014

Diary sang Zombigaret: Merananya aku..

5 tahun yang lalu..

Hari kelulusan sekolah datang juga. Sekolah mengadakan malam.perpisahan bertajuk Prom Night.

Prepare untuk pesta dansa nanti malam, senangnya membayangkan Dude menggandeng tanganku. Ya, kemarin dia mengajakku untuk datang bersama ke acara nanti malam. Pake baju apa ya? Apa baju bertema girly pink ini cocok buatku ya, secara badanku kan agak berisi, tapi pede saja lah toh aku nanti dateng digandeng Dude yang super ganteng.

"Nanti mlm jd? Gw jmput k rmh y?" Bunyi sms dari Dude.
"Duh, senangnya aku.." batinku.

Padahal baru sebulan sih kita jadian, tapi kami seolah telah lama tahu satu sama lain. Aku merasa cocok dengannya.

Tapi malam ini perpisahan? Tidak! Mau dibawa ke mana hubungan kita?

Malam ini indah luar biasa, tangan ini tak lepas dari genggamannya. Dude apa kita akan selalu bersama?

********

Maret 2012

"Apa dok, kanker paru-paru?" Kataku dengan nada syok, aku masih memelototi hasil laboratorium yang sedang dijelaskan oleh dokter.

"Ya, ini sudah positif. Memang masih stadium awal. Tapi kamu perlu khawatir." Jawaban dokter ini membuat aku putus asa.

Khawatir? Bagaimana tidak? Ini penyakit serius. Apa semua akibat dari kebiasaan aku merokok? Oh, bodohnya aku tak memperhatikan tulisan yang selalu ada di setiap bungkus rokok itu. Aku malah membelinya dan terus menghisapnya. Kukira tak akan sefatal ini.

Rasa sesak ini, bukan hanya karena rinduku pada Dude yang tak kunjung padam. Tapi sesak tertumpu penyakit yang bisa sewaktu-waktu merenggut nyawaku.

Dude apa kamu masih mau denganku? Mungkin aku akan mati dalam waktu singkat ini? Tapi aku masih menunggu. Ya, janji kita. Kau akan menemuiku lagi setelah kuliahmu di Jerman selesai.

Rongga dadaku seperti terhimpit batu, aku sakit.

***
2014

"Semoga mimpi indah..," kubaca pesan whatsappnya perlahan, mata ini sudah terlalu pegal menahan capek karena tak bisa tidur. Batuk-batuk ini semakin menyiksaku. "aku harap besok pagi kamu sudah mandi dan cantik." Apa maksudnya kalimat ini, tapi sudahlah. Dude memang pandai menggoda.

Aku tak pernah memberi tahunya tentang penyakit ini. Bahkan ia tak tahu kalau aku perokok berat.

Iya, semua salahku. Aku merokok karena pengaruh kehidupanku yang kacau setelah ditinggal Dude kuliah. Tak ada lagi tempatku berbagi. Meskipun ia tetap setia dengan LDR ini. Tapi aku kacau karena orang tuaku bercerai. Aku berlari ke kehidupan yang kacau, aku merokok. Kupikir ini tak terlalu berbahaya seperti alkohol dan yang lainnya. Tapi rupanya ada juga azab yang harus kutanggung, aku hampir mati. Begitu dekat. Rasa sakit ini, tak dapat aku sembunyikan dari Dude.

***

Aku tampak jelek dari hari ke hari. Oh begitu muak aku melihat bayangan diri ini di cermin. Penyakit ini melahap habis segala keceriaan dalam hidupku. Aku tak tahan lagi!

Mata cekung dengan lingkaran yang gelap. Tubuh yang kurus tinggal tulang, belum lagi bibir yang menghitam dan rambut yang rontok setiap kali tersentuh.

Aku berubah, cantikku hilang. aku benar-benar jadi gadis yang jelek!

Dude, aku tak akan memaksamu mencintai aku. Aku menyerah. Tak akan lagi aku menunggu kamu.

Semakin parahnya penyakit ini. Semakin harus aku melupakan Dude. Pria baik itu tak pantas denganku yang penyakitan dan jelek.

Aku hanya akan bertahan untuk ibu yang setia menemani aku, meski ayah telah pergi entah kemana.

Aku tak meneruskan kuliah. Jangankan untuk beraktifitas di luar rumah. Untuk berdiripun aku membutuhkan pertolongan dari ibu. Berjalan dengan dipapah olehnya. Aku seperti zombie yang takut menunggu mati.

Terlalu banyak hal yang membuatku sedih akhir-akhir ini. Ibu yang selalu menangis menatapku, pesan-pesan dari Dude yang tak pernah lagi kubalas dan teka-teki mengenai sisa umurku. Penyakit ini sudah terlalu serius. Hasil scan paru-paruku makin mengkhawatirkan. Entah apa yang membuatku bertahan. Di tengah sakit yang teramat ini, sesungguhnya aku telah menyerah.

**

"Bu, aku semakin jelek saja ya?"

"Bicara apa kamu, sayang? Bagi ibu kamu tetap cantik.."

"Maafkan aku, Bu. Aku sudah mengecewakan Ibu." Itu adalah kata terakhir yang bisa aku ucapkan kepadanya. Karena setelah hari itu aku tak sadarkan diri.

Aku hanya bisa mengingat diriku didorong ke ruang ICU. Dengan peralatan medis yang membeliti tubuhku. Aku bagai di alam mimpi. Antara sadar dan tidak. Semua tampak seperti bayangan di mataku. Lama juga aku merasakan hal seperti ini. Antara siuman dan pingsan begitu seringnya aku terlelap dan tertidur tiba-tiba.
Hari-hari dimana tak ada kata yang terucap dari mulutku.

"Maaf, bu tak ada jalan. Bahkan operasi pun tak bisa membantu. Paru-parunya sudah rusak secara keseluruhan. Ini karena pada dasarnya kondisi anak ibu memang lemah." Sayup-sayup kalimat dokter terdengar dari luar. Ibu masuk ke ruangan dengan berlinangan air mata.

Sementara tubuhku semakin kaku. Ingin rasanya kuhapus air matanya dan bangun untuk memeluknya, tapi tubuh ini tak sanggup. Hingga detik-detik ini sering aku rasakan pusing-pusing di kepalaku. Ya, aku sering tak sadarkan diri.

Kali ini, akhirnya aku bisa membuka mata untuk waktu yang cukup lama. Ibu masih setia di sampingku, membelai kepalaku dan membisikan kata-kata yang menguatkan hatiku. Tentu dengan linangan air matanya. Aku tak dapat berkaca, entah seberapa parah penampilanku? Tapi pastinya aku jelek!

Semakin banyak saja kerabat yang menengok aku di rumah sakit. Entah tau dari siapa? Sepertinya mereka saling mengabari keadaanku. Nenekku yang jarang mau tau tentangku saja sudah beberapa waktu ini selalu ada di samping ibu. Apa waktuku semakin dekat?

Eh, tapi mana ayah? Batinku menelisik, ingin tahu keberadaannya. Jika aku benar harus pergi, apa masih ada kesempatan untuk bertemu dengannya? Walau ibu sakit hati karenanya tapi dia tetap ayahku.

Dan Dude? Tak akan aku pikirkan apapun tentangnya. Biarlah dia mengira aku hilang ditelan bumi.

Dunia semakin sempit buatku, nafaspun semakin pendek dan teramat pendek.

Apa sudah dekat? Dekatkah Tuhan?

Tuhan? Kenapa baru kutanya sekarang padamu?

Tuhan, aku bagai mayat hidup.
Entah kapan kau akan mengambilku dari kehidupan mereka. Ibuku, keluargaku..

Entahlah, tapi aku masih seperti zombie hingga nanti benar-benar menjadi mayat yang tak akan bangun lagi...

Www.shilpadreamstory.blogspot.com
Fb: Shilpa Yahya
e-mail: Shilpa23yahya@gmail.com

Ada-ada saja..

Tak pernah terbayangkan setelah menikah jadi seperti ini. Kaget? Pernah sih. Sekarang ngga lagi.
Tapi ada-ada saja pengalaman dan hal baru yang mungkin tak akan terlupakan.

Aku yang menikah muda merasakannya. Tinggal terpisah dengan orang tua, berbagai aktifitas yang terbilang baru harus aku geluti. Semua serba sendiri. Karena aku adalah seorang istri.

Masih aku ingat waktu gadis, aku masih bisa tidur selepas shalat subuh dan menunda aktifitasku menahan semuanya di balik selimut dan bantal yang kupeluk. Tapi kini, mustahil aku lakukan jika ingin jadi istri yang baik di mata suami. Leha-leha itu tak ada lagi.
Ya, walau terkadang curi-curi waktu buat memanjakan diri, boleh kan?

Seperti, pernah saat awal ngontrak di sebuah rumah yang jauh dari daerah asalku. Waktu itu baru sebulan menikah dan masuk bulan Ramadhan. Aku yang pengantin baru keteteran mengurusi makan sahur anak orang alias suamiku. Tidak seperti dulu, bangun ya tinggal makan. Selepas Sholat bisa ngelanjutin tidur. Ciri aku gadis tukang leha-leha.

Setelah jadi istri, puasa sama saja dengan kerja ekstra. Mulai dari makan sahur sampai berbuka. Belum lagi jam malam yang tak pernah dilewatkan suami, setelah tarawih atau menjelang sahur maklum pengantin baru, cape deh!

Kebayang ga setiap habis sahur harus shampoan? Pusing kan tu kepala. Hehe..

Masalah shampo ada lagi ceritaku masih di bulan Ramadhan.

Awal tinggal di rumah itu aku tidak tahu bagaimana nyalakan mesin air. Aku yang lagi keramas tiba-tiba kelabakan nyari air karena bak kosong aku putar keran rupanya tak keluar air. Suami nyari-nyari colokan ataupun tombol yang bisa membuat air keluar dari keran tapi tidak ketemu. Antara bingung dan gak tahan karena mata perih terkena shampo akhirnya aku lanjutkan keramasku dengan air galon yang dicabut dari dispenser, untungnya masih penuh jadinya cukup untuk mandi sampai beres, dan bisa puasa seperti biasa. Itu mungkin kisah yang masih aku ingat, apalagi sekaran sudah mau puasa. Hehe jadi teringat lagi, Ada-ada saja pengantin baru.. Setiap orang pasti punya kenangan seru, kamu juga gitu kan?

Hujan..

Tetiba perjalananku terhenti
Aku diberondong ribuan rintik yang menusuk di baju dan jaketku
Dalam jiwa yang berteduh
Otakku seakan mengepul
Mungkin itu reaksi dari panas menuju dingin yang mendadak

Gelisah di ujung waktu yang terus berputar
Menggeser dinamika kerjaku, terhambat
Menunggu menjadi begitu membosankan
Oh hujan, inikah dirimu sekarang

Tak ada lagi kerinduan
Tak ada lagi harapan perjumpaan
Kusudah menemukannya, hujan..

Kini aku berjuang mempertahankannya, maaf aku menolak hadirmu..
Aku hidup di dunia nyata,
Memang perlu angan dan cita
Aku melangkah dan menunggu perginya dirimu disini karena asa..

Bukan aku mengusirmu
Dan bukan aku melupakanmu..

Semuanya berbeda hujan, meski kau tak berubah padaku..

Kamis, 17 April 2014

Pulang Kandang

Sudah ada satu bulan Surti tak pernah menyapa suaminya, Rangga. Pun begitu dengan Rangga, laki-laki yang hampir seperti mayat hidup itu sudah sejak lama tak acuh pada istrinya.

Bermula dari sms yang katanya nyasar, berisi argumen kasih sayang dari dambaan hati. Rangga memaafkan Surti atas sms nyasar itu, walau hanya di mulut saja. Sikapnya yang dingin makin membeku, dia seperti tak bersosok di rumah itu. Perannya hilang. Sebagai suami, ayah, menantu, tak dihiraukannya lagi. Mungkin ia begitu kecewa, entahlah.

Pagi yang super ribut, setiap kali anak sekolah, Rangga yang bersiap kerjapun menjadi super heboh. Suasana kacau dan berantakan membuat Surti stres setiap hari.
Surti bukan istri yang telaten ngurus anak dan suami. Karena terlalu lama ia menginduk pada orang tua, hingga tak pernah ia menyelesaikan urusan tanpa bantuan orang tua. Mereka menjadi pasangan yang tidak mandiri. Terlalu lama santai dan terlena. Tak terasa usia pernikahan yang sudah 7 tahun, membuat Surti risih jika dibandingkan dengan teman-teman sebayanya yang telah mandiri. Hidup ngontrak, menjalankan rumah tangga seutuhnya tanpa campur tangan orang tua.

Surtipun bukan tak ingin seperti itu, sering kali ia meminta Rangga untuk bisa tinggal pisah dengan orang tuanya. Entah apa yang ada di pikiran suaminya, permintaan Surti selalu dibantahnya.

"Aku bosan didiamkan seperti ini, kamu ini kenapa?" Tiba-tiba saja Rangga memecah keheningan yang baru saja dirasakan selepas anak-anak pergi ke sekolah.

"Saya sudah tak tahan!" Tambahnya lagi. Dia pergi ke kamar dan membereskan pakaian. Ia masuk-masukan barang-barang yang menurutnya penting ke dalam tasnya yang besar.

Surti hanya bisa diam karena terlalu kaget dengan ekspresi dadakan ini.

Ranggapun keluar dari kamar. "Ini kan yang kamu mau? Ya, aku pergi saja biar kamu bebas."

Pertanyaan Rangga yang seperti itu, bagai membuka jalan emas bagi Surti. Surti yang sejak lama tak tahan dengan sikap suami yang sangat tidak perhatian dan sering menghilangkan perannya sebagai kepala keluarga.
Dengan nekat Surtipun angkat suara, "Iya memang lebih baik kita cerai, karena sama saja ada atau tiadanya suami buatku."

Dengan emosi Ranggapun pergi....

Surti tak gelisah sama sekali, tak khawatir dengan laki-laki yang masih jadi suaminya itu. "Paling juga pulang kandang," batinnya menerka mau kemana suaminya itu melangkah. Mudah menerka karena tak ada tempat yang jadi pelarian Rangga selain rumah ibu bapaknya.

Rabu, 16 April 2014

Sang primadona

"Aku kan masih muda," fikirnya. Surti bercermin sambil membentuk alisnya bak busur derajat. Dioleskan lipstik cair berwarna nude di bibir sensualnya. Tak lupa juga dia menyapu pipinya dengan blush on. Selesai sudah ritual dandan Surti.

Surti menoleh ke arah jam, sudah pukul 5. Bang Sarmili janji menjemput sekitar 15 menitan lagi. Dia sedikit grogi, maklum ini kencan pertama baginya, setelah hampir setahun menjanda. Hatinya kini sedang berbunga-bunga.

Clenting..! BB nya berbunyi ada tanda pesan BBM yang masuk. Rupanya dari Bang Sarmili.
"Neng sudah siap? Abang sudah di depan gang, sebentar Abang parkirkan mobil." Senyum-senyum mulut surti, terlebih ada kata mobil. Wah, gaya sekali fikirnya, kencan pake mobil. Bayangannya teringat waktu kencan dengan mantan suaminya dulu, boro-boro bawa mobil. Jalan-jalanpun cuma modal sendal paling banter naik angkot.

Hati Surti membuncah penuh kemenangan, "Selamat tinggal masa lalu." Ucapnya dalam hati.

Tok..tok..tok..

Bayangan sang pria tersembunyi di balik pintu, ketika Ibunya hendak membukakan pintu, Surti mendahuluinya. "Biar Surti yang buka, Bu.." senyumnya yang mempesona, ia hadirkan untuk sang pujaan hati.

"Sore Bang, masuk dulu. Ini Ibuku. Bu, ini Bang Sarmili teman yang pernah Surti ceritakan."

"Oh, ya silakan masuk.."

Sarmilipun masuk ke rumahnya bercakap dengan Ibunya. Lantas meminta ijin untuk membawa Surti jalan-jalan dan makan malam.
Saat itu, kedua anak Surti belum pulang sekolah. Surti bicara pada ibunya, "Nitip anak-anak ya, Bu.."

Surti melenggang berjalan beriringan dengan Bang Sarmili. Tubuhnya yang semampai tak menunjukan bahwa ia seorang janda beranak dua. Jalannya yang diatur, berlenggak bagai peragawati. Surti bergairah. Masuk kedalam mobil dengan perasaan bahagia dan harap, "apa ini akan jadi masa depanku?" Hatinya betanya. Semburat senyum keyakinan dan terfikir, " Aku bagai primadona.."  Memantapkan posisinya sebagai kekasih orang berada. Surti sedang mengejar mimpi.

...

Selasa, 15 April 2014

Ditinggal janji

"Neng do'ain dulu supaya Abang menang. Dapet suara penuh, Abang janji bakal nikahin Neng.."

"Berarti kalau Abang kalah, Neng gak bakalan di nikahin gitu?" Gerutu Surti pada Sarmili, sang kekasih yang ikut-ikutan jadi Caleg.

Beberapa hari lagi Pemilu, Surti gelisah. Bang Sarmili, pujaan hatinya ikut bertarung. Bukan takut Bang Sarmili kalah, Surtipun takut laki-laki itu ingkar janji.

Sudah satu tahun Surti menjanda, hidup rumah tangga selama 7 tahun tak membuatnya bahagia. Alhasil dengan berbagai pertimbangan dan kenekatannya, Surti bercerai. Memboyong 2 anak hasil pernikahannya. Surti melangkah dengan mimpi baru. I'am single and I'am happy. Motto itu tampaknya benar-benar berjalan di kehidupannya. Selepas bercerai, Surti bagaikan burung yang lepas dari sangkar. Surti makin aktif dengan kesibukan-kesibukan yang makin menyita waktunya. Sibuk apapun yang penting happy.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan Surti bertahan dengan statusnya masih tetap gembira, ceria, senang dan merasa inilah hidup yang baru. Tak ada lagi omelan suami yang melulu menghambat kesenangannya. Apalagi Surti masih tinggal dengan orang tuanya, tentu dia merasa tak kehilangan apapun. Suami pergi tak berpengrruh baginya, toh sedikit-sedikit dia bisa cari uang dengan berjualan pakaian yang rajin digelutinya sejak lama.

Tapi musim Pemilu ini Surti galau. Sekitar 4 bulan yang lalu Surti berkenalan dengan Sarmili_sang Caleg dari partai sabun colek. Sarmili sungguh pandai mengambil hatinya, hingga Surti kelepek-kelepek dibuatnya. Awalnya saling balas membalas Bbm sampai telpon-telponan, Surti dibawa terbang oleh Sarmili ke alam mimpi.

"Abang terlanjur sayang sama kamu, Neng." Gombal Sarmili saat berduaan selepas Pawai kampanye.

"Lalu bagamana dengan Istri Abang? Apa abang tak kasihan, tapi aku tak mau loh, Bang.. kalau cuma jadi madu."

"Kamu tenang saja. Kan sudah aku jelaskan, Istriku tak bisa lagi melayani aku. Dia sakit." Jelasnya pada Surti.

"Ya sudah, kita jalani dulu. Akupun tak ingin terburu-buru. Tak mau kalau harus gagal lagi," Ucap Surti.

Menjelang hari Pemilu, Sarmili hilang dari mata Surti. Ia lenyap di telan bumi. Tak ada BBM, SMS atau Misscall sekalipun. Galaulah hati Surti bagai ABG yang baru kenal cinta.

Kacaunya hati Surti sampai-sampai masang status di facebook "Kau datang dan pergi sesuka hatimu, mana janjimu?"

Bersambung....

Minggu, 06 April 2014

Anak bukan kepunyaan..

Hari senin biasanya aku libur, tapi karena meeting aku harus datang. Dan masuk cuma pas jam meeting.
Beres meeting, bergegas pulang kasihan anak, libur-libur ditinggal juga. Turun lewat lift biasa. Dalam benak cuma pengen cepet-cepet pulang dan ngasuh si kecil.

Di lift ketemu teman lama, waktu dulu kerja di Outlet, dia kerja di cafe depan Outlet. Sekarang dia kerja satu gedung denganku, tapi di foodcourt lantai paling atas. Biasalah sapa-sapa, nanya kabar dan lain sebagainya. Hingga akhirnya ia nanya, "kamu udah punya anak?".

"Alhamdulillah, A.." jawabku.

"Kenapa ya, aku belum aja? Hehe, udah tujuh tahun aku mah belum wae.." katanya seolah curcol.

"Belom aja kali A, kecapean juga mungkin." Aku jawab begitu, karena setahuku kerja di foodcourt itu melelahkan.

Lantas ia membahas hal yang lain, seraya pamit dan kamipun berpisah karena beda tujuan.

Aku duduk di lobby luar, nunggu suami ngejemput, ojek dadakan daripada ngangkot, lama di jalan. Hemat ongkos pula.

Pikiranku, inget Faiz, Faiz, Faiz. Kebayang juga temanku yang 7 tahun belum dikaruniai anak. Duh, pastinya sedih.

Aku tahu anak itu titipan, yang namanya dititipi berarti bukan kepunyaan. Jangankan kita bisa mendapatkannya sesuka hati. Bila kita diberipun bisa sewaktu-waktu diambil yang punya. Ngilu..banget hatiku ngebayangin anakku yang lagi nunggu di rumah. Ada rasa bersalah karena ninggalin dia kerja. Tapi balik lagi karena aku fikir anak itu hanya titipan maka kita harus bisa menjaganya sebaik mungkin. Ada pertimbangan dimana saat ini aku lebih baik dan lebih bermanfaat bila aku kerja daripada ngasuh anak di rumah. Dan untungnya anakku ada yang jagain dan lebih berpengalaman dibanding aku.

Tit..titttt..

Klakson motor membuyarkan lamunanku. Suamiku sudah nangkring di atas motor. Senang rasanya mau pulang ketemu Faiz..

Faiz mamah pulang, kata hatiku..

Masalah gue, masalah loe bukan?

"HUSS..jangan ngelamun! Woy, woy, sadar! Gimana sih kamu dari tadi diajak ngobrol diem aja, taunya ngelamun, udah nyampe alam mana?"

"Eh, nggak.. " jawabku gelagapan, "maklumlah lagi banyak fikiran, banyak juga hal yang ingin aku kerjakan."tambahku.

"Ya, tapi gak ngelamun juga keleees.. hati-hati ah, ntar kesambet lagi." Kata temanku.

Ah memang kok, akhir-akhir ini banyak banget yang membebani fikiranku. Begitulah, kerjaan otakku. Hilang satu datang seribu, yang namanya persoalan gak akan ada habisnya.

Kadang capek juga sih, ya fisik, ya mental, tapi namanya hidup harus dijalani. Bener gak?

Namanya orang hidup, masalah itu pasti ada. Mulai dari hal ringan sampai yang beratnya gak bisa ditimbang lagi. Saking gak tahan nanggungnya.

Masalah, jangan hidup kalau ga mau ada masalah. Tapi jangan dikira orang mati gak akan punya masalah. Di dunia kita bisa usaha buat menyelesaikannya, meskipun yang namanya masalah bakal balik dalam bentuk yang berbeda. Tapi setidaknya di dunia kita masih bisa melepas beban masalah dengan harapan, keyakinan, usaha, do'a. Coba kalo dah mati? Nangis aja kali, gak tau juga ada air matanya atau nggak. Malaikat juga gak akan ada yang kasihan apalagi bantuin.

Makanya heran banget ya, sama orang yang menyelesaikan segala sesuatu itu dengan cara yang instan dan gak mikir kedepan. Apa-apa main bunuh, apa-apa main culik atau putus asa sampai bunuh diri.

Aduh, janganlah ya Allah.. jangan sampai aku berperilaku seperti itu. Meski kadang-kadang, aku ngomong sama diri sendiri. Aku ini cape, bosen, tapi bukan pengen mati atau bosen hidup. Aku bosen dan capek kembali ke titik dimana aku harus menyerah dan kembali dari nol. Kurang-kurangnya semangat dan motivasi, lama juga bangkitnya.

Kaya sekarang ini nih, kata temen banyak ngelamun. Padahal aku lagi banyak mikir, gimana ya biar aku cepet maju? Cita-cita jadi penulis beneran bisa terwujud. Gak seperti sekarang, bisanya cuma ngayal. Mikirin ide nulis tapi kepentok sama tekhnik.

Bete, galau pengen punya buku sendiri. Alhasil, sering ikutan event-event menulis. Walau seringnya kalah. Duh, tambah galau.. haha.

Sebenernya, ini bukan masalah ya. Dasar aja akunya yang lebay.

Jadi inget status BBnya temen..

TEKANAN BERBANDING LURUS DENGAN GAYA, JIKA ANDA MERASA BANYAK TEKANAN KEMUNGKINAN.ANDA TERLALU BANYAK GAYA.

HAH, mungkin gitu juga kali ya aku sekarang. Terlalu banyak mimpi, ngebet, tapi belum berbuat apa-apa.

Ya, semangat lah.. *sambil males-malesan..

(DOR! Bangun-bangun, jangan mimpi terus, kerja-kerja, usaha, ayo dong nuliiisss....!)

:(

Kamis, 03 April 2014

Ngapain nulis?

Menulis itu hobby, cinta, kesukaan, nafas dan hidup. Di level mana anda meletakan arti penting dari kegiatan ini?

Ada yang bilang menulis itu terapi, ya kalau aku mungkin sependapat dengan ini. Karena jika aku tahan keinginanku untuk menulis ideku musnah dan kepalaku rasanya pecah. Dan apa yang ingin aku tulis sesungguhnya hanya sederhana, hanya emosi, ya seringnya emosi.

Pertama aku menganggap menulis itu bukan bakat, jelas aku tak punya bakat. Aku hanya merasa senang saat aku yang penuh emosi kemudian menulis, selesai dan saat dibaca berulang-ulang muncul perasaan yang berbeda di hatiku. Perasaan yang stabil dan menenangkan.

Ada satu orang yang sepertinya terganggu dengan aktivitas menulisku. Kemudian ia bertanya, "Hey, ngapain nulis? Emangnya mau jadi penulis? Temenku aja susah waktu ngerintis jadi penulis, harus punya bakat. Sekarang dia udah terkenal loh..terus kamu kenapa nulis ?"

"Ya, suka aja". Jawabku simpel.

Terus dia ngoceh dan nyombongin temennya yang udah jadi penulis itu, katanya sih itu juga. Helooww... Apa cuma penulis sungguhan yang boleh menulis?

Gara-gaa dia, akhirnya aku benar-benar percaya bahwa menulis itu terapi buatku. Terapi dari orang-orang yang seperti ini. Di mana dalam tulisan aku memiliki duniaku sendiri, terbebas jauh dari orang-orang macam ini.

Bahagia, tenang dan damai alam duniaku sendiri.. impianku, tulisanku adalah obatku.

Sekali-kali ngiklan aahhh...

Siapa yang hobby baca di perpus? Galau pengen dibawa pulang tp gak bisa? Gampang di scan saja!

Gak mungkin? Mungkin dong scannernya kan portable, praktis dan ringan..

Hasilnya?
Gak mengecewakan, bisa di setting mulai dari 300dpi, 600dpi, sampai 900dpi

Ukuran kertas lebar A4 panjang bisa sampai 1,2m.

Jangan takut, barangnya bergaransi resmi..

Cara pakainya mudah.

Sudah gitu hasilnya bisa dalam format pdf juga JPG.. bisa di convert ke dalam bentuk Word, Exel juga txt.

Buruan kunjungi saja

HandyCom.it

Selasa, 01 April 2014

Selepas perpisahan II ..

Baca dulu part I nya ya... :)

Ini lanjutannya...

Dia menatapku dalam-dalam,bukan dengan rasa cinta atau sayang, tetapi dengan perasaan bersalah. "Siapa perempuan itu?" Aku bertanya, mencoba menahan amarah dan kepedihan di dalam hatiku.

"Seseorang..... dan kau takkan
mengenalnya," sahutnya tenang, seolah- olah dengan tidak mengenal perempuan itu akan mengurangi sakit yang kurasakan.

Mata ini mencoba memandangnya, tetapi aku sadar yang bisa kulakukan adalah menatap lantai dan berharap air mata yang membendung tidak berjatuhan.

Bisa kurasakan dia perlahan bergeser mendekat, tangannya diletakkan di bahuku untuk menenangkanku. Cepat-cepat kutepis tangannya, tidak menginginkan bujukan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Perjalanan cintaku dengannya memang tak semudah yang dibayangkan, meski kami sempat lama berpisah. Rupanya ujian tak bosan menghampiri kami, setelah aku memaafkannya karena ia telah meninggalkanku sembilan tahun lamanya. Kini hadir wanita lain di rumah kami, dan siapa dia?

Tak dapat kutahan lagi tangisanku, hati ini menjerit.

"Dia istriku di masa lalu.."jawabannya membuatku mual dan ingin pingsan.

"Aku sudah bercerai dengannya, dia kemari hanya untuk.bersilaturahmi, itu saja."

"Silaturahmi dengan berpelukan mesra?"kataku di tengah tangisku yang makin menderas.

"Jangan salah sangka sayang.. dia kemari untuk urusan kami yang belum tuntas. Dia butuh tanda tanganku, dia akan menikah ..." Aku yang meringkuk dilantai tak dapat menolak pelukannya, aku begitu rapuh. "Tenanglah, dia sudah pergi dari hidupku, kini dia datang hanya untuk ucapkan selamat tinggal.."

Akupun memaafkannya lagi, untuk kesekian kali. Sekarang aku tahu mengapa ia dulu begitu lama meninggalkan aku, ternyata karena wanita itu. Dan kenapa tiba-tiba ia datang kembali dan menikahi aku? Benar, karena wanita itu telah pergi dari hidupnya.

Akhirnya sendiri kutelan segala tangisku, sudah terlalu pandai aku menyembunyikan rasa. Akupun ingin bahagia. Semoga tak ada kebohongan apapun lagi darinya.

Suamiku, aku hanya butuh kejujuranmu..
Sungguh jika aku tahu sebelumnya, mungkin tak akan kecewa seperti ini..

Aku sadar setiap orang punya masa lalu..

www.lovrinz.com

Selepas perpisahan... (fiksi)

"Jadi ini rupamu setelah 9 tahun berlalu, pergi dan tak dapat lagi kutemui bayanganmu."

"Jangan begitu Raya, kau memang tampak tak berubah.."

"Aku tak percaya kau masih ingat namaku.. Kupikir kau akan lupa."

"Tak mungkin aku lupa pada gadis mungil nan cantik itu." Laki-laki itu berhenti dari langkahnya, menatap wajahku sejenak.

Oh, Tuhan mengapa rasa itu masih sama? Dia telah pergi dariku tapi mengapa tak ada yang berubah dariku. Aku masih mencintainya walau telah kujalani kegelapan tanpanya, sembilan tahun tanpa kabar, dan meski malu untuk aku akui selama itu aku menunggunya.

"Raya, kau tinggal di mana sekarang?"

"aku? Aku tinggal di sini, selalu di sini sejak kau pergi dan tak kembali.." wajah dan hatiku tak dapat berpaling dari rasaku yang dulu. Aku masih menyesalkan sikapnya di masa lalu, meninggalkanku begitu saja.

"Raya, maafkan aku...waktu begitu cepat berlalu hingga aku lama membiarkanmu menunggu. Begitu banyak jalan yang melintang di luar sana Raya, hingga aku bingung memilih yang mana. Tanpa kusadari aku telah menjauh darimu.."

"Mengapa kau kembali, untuk mengingatkanku akan luka?"

"Tidak Ray, aku ingin tahu apa kau baik-baik saja. Aku takut, takutku mengalahkan malu, sebenarnya aku malu menjumpaimu lagi. Tapi hati ini selalu gelisah memikirkan keadaanmu."

Langkah-langkah kaki yang bergantian, berayun menyapu jalan itu menjadi saksi perbincangan yang hadir di antara kekasih yang telah lama berpisah. Mungkin itu rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan pertemuanku dengannya, setelah sembilan tahun berpisah. Tapi kata kekasih, masih pantaskah?

"Entahlah aku bingung dengan kehadiranmu yang tiba-tiba, aku fikir kapalmu telah tenggelam dan kau dimakan ikan hiu. Tapi aku baik-baik saja.. luka itu sudah lama.."

"Apa kau sudah menikah Raya?" Pertanyaannya membuatku terdiam, "jawablah.."

Kubalas dengan senyuman, aku tak mau terlihat rapuh di matanya. Apa jadinya jika ia tahu aku belum juga menikah karena masih menunggunya.

"Raya maafkan aku.." katanya.

"Untuk apa, untuk dosa yang kita lakukan dulu? Sudahlah Mas, aku terlalu menyesal untuk mengingatnya."

"Benarkan Ray, kau belum menikah?"

"Mengapa harus kujawab, kamu hanya kenanganku yang dulu.." jawabku perih karena pertanyaannya itu.

"Raya kau tak berubah sama sekali, maaf kufikir kau belum menikah. Dan aku sempat berharap kau masih menungguku. Tapi aku sadar itu tak mungkin, Suamimu pasti sangat mencintaimu hingga kau masih terlihat cantik seperti sekarang..."

DEG!  Jantungku begitu kencang berdetak. Suami, katanya. Dan apa? Dia masih mengharapkanku. Oh, Tuhan maafkan dosaku yang telah kuperbuat bersamanya dulu. Aku menyesal dan sudah kuterima sepiku selama sembilan tahun tanpanya. Kini ia kembali, jika ia datang untukku apa mungkin kita bisa bersama? Tak ada yang pantas untukku selain dia, untuk itu aku menunggunya begitu lama..

Malam perpisahan itu, hanya kami yang tahu. Ya, dosa itu yang telah lama menemaniku untuk selalu menunggunya, juga menunggu ampunan dari-Mu Tuhan...

Kini ia kembali...