Kamis, 16 Oktober 2014

Cinta yang Kugantung



Cinta yang Kugantung

Oleh: Shilpa Yahya

Bulan separuh yang bernaung di balik awan, seperti mengambarkan hatiku yang tinggal sisa. Menyepi dan kini sendiri. Masih tersisa embun-embun bekas hujan tadi sore, udara masih terasa menusuk tulang dan daging, demikian pula perasaanku.

Melihat pemandangan malam ini imajiku mengingat lagi masa lalu. Hari-hari dimana dulu aku sempat bahagia dan bersama orang yang aku cintai. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku akan selalu cinta, sekarang pun aku sedang bertahan dalam cinta.

Teng.. Teng.. Teng.. Oh, rupanya bunyi jam itu mengagetkan aku. Telah habis waktu istirahat, secepatnya aku harus melupakan  lamunan ini. Aku kembali pada tugas yang biasa harus kulakukan. Sambil menunggu majikan datang dan meminta dibukakan pagar, aku mengepel seluruh ruangan agar tampak rapih di matanya. Memang lelah, tapi semua aku lakukan demi cinta yang (semoga saja) masih menungguku.

Bunyi deruan mesin mobil telah terdengar di depan rumah, sudah dapat kutebak bunyi klakson akan menyusul beberapa detik lagi. 

TID.. TID.. 

Benar saja majikkanku telah memberiku aba-aba agar kumemburu kedatangannya. Aku senang karena lelahku hari ini akan segera berakhir, tentunya setelah menyiapkan makan malam terlebih dahulu.

“Malam Jum, bagaimana hari ini .., apa kedua jagoanku merepotkanmu?” Tanya nyonyaku dengan senyumnya yang dapat membuatku lupa pada letihnya badan ini.

“Tidak terlalu nyonya, memang sudah biasa kalau Abang sama Adik sering berantem dan main kejar-kejaran. “

Nyonya majikanku ini orangnya baik, santun dan dia sangat berwibawa. Walaupun  seorang janda, dia amat disegani di kota ini. Suaminya dulu pernah menjadi Pejabat. Sayangnya maut memisahkan mereka, tinggalah ia dengan kedua buah hatinya kini disini ditemani olehku. Aku tidak merasa seperti pembantu, karena Nyonya sangat menghargai dan menyayangiku. Aku memang bekerja keras di rumah ini, itu semua aku lakukan semata untuk membalas segala kebaikannya. Aku ingin sempurna dalam semua pekerjaanku. Aku berkonsentrasi untuk itu, walaupun sebenarnya kulakukan untuk melupakan pikiranku tentang hal lain. Ya, untuk meredam rindu pada kampung, rumah, dan suamiku.

**

“Ceraikan saja dia ..” Bisikan suara Ibu masih dapet kudengar dengan jelas. Kuintip dari balik pintu, 

Mas Heru memasang wajah tak enak.“Tidak mungkin Bu, aku sangat mencintai Sinta .., dan tak ada alasan aku untuk menceraikannya.”
“Alasan? Kamu saja yang menutup-nutipinya. Lihat sampai kini istrimu itu belum juga bisa memberi Ibu cucu. Apa itu bukan alasan? Suara Ibu sekarang jelas terdengar olehku, aku tak sanggup menyaksikan lagi perbincangan ini. Kututup saja pintu kamar, berbalik dan menjatuhkan diri di atas kasur menyembunyikan kepala dan pikiranku dalam bantal.
Ah, aku tak sanggup, lirih dalam hatiku tak dapat kutahan. Aku kecewa pada diri yang tak sempurna ini. Tapi aku tak pantas begitu. Aku hanya manusia. Tuhan, aku akan menerima apapun, asal masih bisa menjadi istri Mas Heru.
“Putuskan sekarang, ibu tak mau lagi menunggu!” Suara Ibu dapat menembus telingaku yang kututup rapat. Rupanya emosi Ibu memuncak, mungkin Mas Heru menyampaikan kerelaannya untuk tak berketurunan denganku. Mas Heru memang sangat mencintaiku, dia tak pernah menuntun anak dariku, apalagi setelah tahu ada masalah dengan rahimku.
“Tidak Bu, aku tidak mau meninggalkan Sinta. Aku sangat menyayanginya..”
“Bohong kamu, paling kamu hanya kasihan ‘kan padanya? Sudahlah Her, menikah lagi saja, dengan begitu kamu bisa punya anak, Ibu ingin cucu … Kamu pun tidak harus menceraikan Sinta. Kamu ‘kan bisa poligami?”
“Apalagi begitu, Aku tak akan tega.”
“Harus bagaimana lagi ‘sih, Ibu meminta padamu. Apa kamu akan membiarkan Ibu meninggal tanpa pernah menimang cucu Ibu sendiri, Her .., darah dagingmu?”
“Sabar saja Bu, mungkin Allah sedang menguji rumah tangga kami.”
“Ini sudah lebih dari sepuluh tahun, mau menunggu sampai Ibu mati? Her, Ibu mau cucu..” Nampak Ibu sangat emosi menghadapi mas Heru yang dingin menyikapi masaah ini. Aku faham, mas Heru tak ingin melukai aku. Maka tak pernah ia menyinggung masalah anak. Dia menutupi keinginan terbesarnya itu demi perasaanku.
**
“Jaga kandungan kamu Sin, Cucu Ibu harus sehat ..”
“ Jangan khawatir, Bu .. Aku akan baik-baik saja.
Usia kandunganku 5 bulan saat itu, begitulah Ibu mertua sangat menjaga keadaanku, memperhatikan dan masih menyayangiku, sebagai menantunya.
Tapi semua itu sirna. Saat malam hari, tiba-tiba saja kandunganku terasa sakit yang hebat. Ya, nyeri dan ngilu. Ku tak tahan menahan rasa sakit ini. Hingga aku berteriak-teriak sehingga mengagetkan orang-orang yang ada di rumah. Aku lantas dibawa ke dokter kandungan. Dokter menanganiku dengan hati-hati karena Ibu tak henti menyuruh dokter segera menanganiku. Rupanya Ibu sangat panik hingga berkata-kata tak jelas pada dokter.
“Ini cucu pertamaku, selamatkan dia Dok .., tolong …”
Aku tak mampu berkata-kata karena sakitnya. Apalagi setelah di USG ternyata aku hamil di luar kandungan. Oh batinku tak kusa menahan cobaan ini, padahal tak sebentar aku tunggu kehadiran janin di rahimku ini. Empat tahun pernikahan aku baru bisa hamil. Dan ternyata harus diangkat karena janin berada di luar kandungan.
“Demi keselamatan menantu Ibu, terpaksa janinnya harus diangkat. Tak mungkin juga dipertahankan karena ini bukan hamil normal Bu, menantu Ibu mengalami apa yang sering orang sebut sebagai hamil anggur.”
Aku tahu perasaan Ibu pasti lebih kecewa.
Selama seminggu aku dirawat dan akhirnya boleh pulang. Wajah ibu masih terlihat murung dan tak banyak berkata-kata padaku. Dia terus-terusan menangis apalagi di hadapan suamiku. Batinku makin sakit. Tapi tidak semestinya Ia begitu, Apa ini memang mauku? Semua ini cobaan, akupun tak mau, tapi tetap harus menerima. Sabarku terus kupertahankan. Bukan hanya karena karena kehamilanku yang akhirnya sirna tapi karena sikap Ibu yang berubah padaku.
**
Pernikahanku menginjak usia 10 tahun, masih saja masalah anak menghantui hubunganku dengan mertuaku.

“Jangan Sinta, jangan pergi .. Apapun alasanmu jangan pernah meninggalkan aku. Mohon mengerti, kulakukan semua karena ibu.” Pinta mas Heru padaku untuk terakhir kalinya. Tapi tak dapat menolak hasratku untuk pergi menjauh darinya. Bukan aku yang tak cinta lagi, tapi semua demi dia dan ibunya.
Akhirnya aku pergi dengan menyembunyikan tangisku di hadapannya. Pergi menjauh dengan bayang kebahagiaannya dengan wanita lain--wanita pilihan kedua orang tuanya—yang membuatku sakit . Tapi kami tak pernah resmi bercerai. Tak pernah aku pinta cerai darinya, juga demikian ia padaku.
Kenapa aku harus pergi darinya, sedang aku masih cinta dan selamanya akan selalu cinta?Jawabannya adalah Suci. Kenapa Ibu harus memilih suci untuk maduku?
Aku tak percaya, kedatangan suci malam itu telah merubah kehidupanku dengan Mas Heru untuk selama-lamanya. Sahabat lamaku itu singgah ke rumah untuk menginap karena kemalaman saat ada tugas di daerahku. Tentu saja, rumahku akan selalu terbuka untuknya. Dia adalah sahabat baikku.
“Silahkan saja Suci, tak usah malu .. Memang lebih baik kamu menginap saja di rumahku, Suamiku tak akan apa-apa. Malah dia akan senang karena aku jadi punya teman  ngobrol. Aku juga senang kamu mau berkunjung ke rumahku .. Sudah berapa lama juga ‘kan kita tak jumpa?”
“iya Sin, terimakasih .., untung tadi aku ingat rumahmu dekat sini. Tadi aku sempat bingung loh mau pulang ke mana. Jalanan sudah sepi, angkutan umum pun sudah tak ada. Pas aku buka kontak hp masih ada nomer hpmu jadi tanpa pikir panjang aku hubungi kamu. Beruntungnya kamu sama suamimu mau menjemput aku .. Makasih ya ..” Saat itulah Ibu mulai menelisik dan mendengarkan percakapanku dan sahabatku itu. Ibu memata-matai kami.
Suci itu cantik, baik, dan dia bukan bandingannya denganku. Parasnya, tubuhnya juga gayanya yang memukau, dia itu seperti bidadari. Kenapa dia belum punya jodoh juga? Itu yang membuat ibu tertarik. Nampaknya Ibu diam-diam punya rencana.
Setelah Suci menginap di rumahku pada malam itu, Ibu sering menanyakan tentangnya pada Mas Heru. Mas Heru jadi bertanya padaku, ya tentu Suci ‘kan temanku,  pastinya Mas Heru dipaksa ibu untuk kenal Suci lebih banyak.
Tak pernah aku pikirkan sejauh ini, rupanya rencana ibu disambut oleh keluarga Suci. Mereka khawatir dengan anak gadisnya yang telah berumur tiga puluh enam tahun itu akan sulit mendapatkan jodoh. Pinangan ibu diterima. Aku tak dapat mencegahnya, Begitu juga Suci—sahabat terbaiku—terpaksa menuruti kehendak orang tuanya. Mas Heru enggan berbicara padaku tentang ini, karena memang percuma.  Niat ibu tak dapat dihalang-halangi lagi. Dan niatku untuk pergi sebaiknya segera aku lakukan.
Aku lari dari Mas Heru, kepergianku secara baik-baik selalu saja dihalanginya. Kulakukan ini bukan karena membencinya. Tapi aku tak sanggup harus menahan rasa cemburu bila nanti Suci dan Mas Heru bersama. Lebih baik aku yang mengalah.
Kudengar, setelah kepergianku selama 5 tahun Mas Heru telah dikaruniai seorang putra. Karena itu aku memilih tetap begini, mencintainya dari jauh. Hatiku pilu, tapi aku bahagia jika ia bahagia karena itu. Sedih memang menjadi wanita seperti aku, mertuaku lelah menunggu keturunan dariku, hingga memilih wanita lain untuk mendapatkan cucu. Aku tak pernah marah karena aku merasa bukan wanita yang sempurna. Tapi aku tak pernah kuasa melihat wanita yang harus mendampingi suamiku karena dia sahabat dekatku.
Aku pergi tak tentu arah, hampir tersesat di kota yang sebelumnya tak pernah aku datangi. Semarang adalah tempatku sekarang. Tinggal bersama keluarga yang menerimaku bekerja dan aku mengganti namaku menjadi Jumirah. Aku lakukan agar Mas Heru tak pernah menemukan aku. Walau sebenarnya ingin aku kembali padanya, tapi bagaimana dengan sahabatku? Menurut saudaraku di kampung, mas Heru masih mencari keberadaanku bahkan Ia rela menceraikan Suci untukku. Tapi aku tak mau menerima kabar ini, semuanya hanya akan membuatku bingung. Biarlah aku mencintainya sebatas do’a dan dia menjadi suamiku selamanya.  Sengaja aku menggantung cinta di hatiku untuknya agar dia tak pernah meninggalkan Suci untukku.