Kamis, 04 Desember 2014

Ketika luka itu diusik kembali ...


Hati sudah berusaha tuk membebaskan, ya sudah merasa bebas. Tapi semuanya di uji ketika seseorang yang pernah mencabik-cabik jantung bahkan memporak porandakan kesabaran itu datang dan singgah lagi di rumah baru yang damai, dia datang dengan senyum tanpa cela, seolah memakai pakaian kesucian tak berdosa.

Tiba-tiba di kepala ini begitu ramai dengan suara,

"Jangan belagu, kamu. Orang gak punya berlagak pake ikutan sekolah segala!"

"Jangan sok kaya, kamu. Gaul sama anak sekolahan. Orang tua kamu itu cuma babu, bapa kamu juga cuma pegawai bang ... bangunan! haha...."

"Cuma anak panimu aja sok gaul, ngaca!"

Astagfirullah, batinku. Meskipun aku bukan anak dari orang berada, tapi aku bersyukur orang tuaku masih mementingkan yang namanya sekolah. Walaupun tidak sampai kuliah. Sudah menjadi kewajiban buatku untuk bersyukur dan berterimakasih kepada ke dua orang tuaku yang dengan segenap tenaga membesarkan dan mendidik aku sampai sejauh ini. Meski aku belum bisa dianggap orang yang sukses.

Wajah tamu itu berbinar-binar, entah apa hatinya sudah damai dari percikan api yang biasa ia muntahkan lewat mulutnya. Aku hanya menjawab celotehannya seperlunya, takut-takut kebiasaannya di masa lalu masih berlanjut (mengadu domba). Satu jam dia berbincang dengan ibu, penilaianku tentang dia yang saat ini sepertinya masih tak berubah. Dia merasa suci, bahkan dia terus mengungkit masa lalu yang baginya tak ada masalah, bahkan dia lupa dengan perilakunya di masa lalu, mungkin Allah belum menyadarkannya. Ya, aku mencoba mengobati diri, tenggelam di antara suara-suaranya yang terus berceracau, kualihkan pikiranku pada yang lain. sekedar ingin membuatku lupa dan jangan sampai luka itu terjamah lagi.

Aku sibukkan diri di dapur, mengisi panci dengan air dan menaruhnya di atas kompor yang menyala, mengambil sebungkus mie instan dari kardusnya. Ah, badanku terasa lunglai, aku kalah dan menghindar, tapi mungkin ini lebih baik dari pada aku terpancing amarah, suaranya masih kudengar dengan jelas dari sini. Aku merasa, kok ada ya orang yang tak punya malu, bahkan tak punya rasa seperti dia. Perasaanku, lama-lama larut juga pada kejadian di masa lalu. Terbayang lagi sekumpulan wajah-wajah yang melengkapi deritaku, yang kurang lebih semua adalah saudara kandung orang yang bertamu itu. Ya mereka yang selalu menguras tangisanku, tangan-tangan yang sering menyelakakan aku
.
Aku kembali ingat pada adiknya yang hampir mebakar rambutku, gara-gara terpancing emosi ketika kejahilannya aku lawan. Aku masih ingat dengan ancaman salah satu dari keluarganya yang ingin menistakan aku dengan dosa. Aku jadi teringat kembali, ketika aku putuskan untuk menyendiri dan tak mau bergaul, salah satu dari mereka mengira aku hamil. Astagfirullah, apa orang seperti itu pantas dianggap saudara, tapi aku masih menganggapnya saudara. Entah, aku tak bisa membalas segala perlakuannya, entah aku yang pura-pura sabar, bodoh, atau tak bernyali. Tapi satu yang aku yakini, semua akan ada balasnya. Aku meminta yang terbaik bagiku dan bagi orang-orang itu. Selama lebih dari dua puluh tahun, satu persatu Allah perlihatkan, bahkan tanpa aku minta.

Suara air mendidih juga mie yang matang, masih tidak membuatku beralih lamunan, di pojok dapur kunikmati mie instan yang berbumbu tangisan. Leher ini seperti tercekik, aku masih sakit, Ya Allah, aku menyadari belum bisa ikhlas dengan mereka, ampuni hamba ... dan jangan sampai hamba kembali menyimpan kebencian.

"Mamah lagi apa?" seorang bocah kecil menghampiriku, Aku jadi malu. Segera kuseka pipi yang basah dan mata yang berkaca ini.

Tiba-tiba si tamu berpamitan, selepas dia pergi. Aku melihat wajah ibuku yang berubah.

"Kenapa Mah?"

"Nggak aneh aja, orang yang dulunya galak sama kamu, sekarang mau minjem uang ke mamah, kok bisa ya ...."

Aku hanya dapat menarik napas panjang, teramat-amat panjang.

Pagi yang aneh, hari yang aneh dan tamu aneh.

Bandung, 4 Desember 2014.

Sumbergambar: MangGugel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar