Selasa, 18 Maret 2014

Semua yang hilang akan tergantikan


Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu sebuah kebenaran. Meskipun lama akhirnya kutahu juga apa kebenarannya. Ternyata apa yang aku ragukan benar, Aku memang bukan anak kandung mama.

Pantas saja perlakuan orang terhadapku menjadi tak sama, bukan aku dispesialkan, justru aku banyak mendapat perlakuan buruk dari orang disekitarku, meski tidak semuanya. Oleh tetangga saja, aku sering diremehkan, bahkan oleh saudara sendiri aku seperti di anak tirikan. Kalau saja aku tahu kebenarannya dari dulu, tentu sakit hatiku tak akan menggunung seperti sekarang. Karena apa salahku? Justru mereka yang selama ini membodohi aku, menutup-nutipi kenyataan yang sebenarnya.

Masa kecil menjadi hal yang tak ingin aku kenang, untuk mengingatnya aku harus rela air mataku terbuang sia-sia. Banyak keperihan disana. Saat yang paling kuingat ketika usiaku lima tahun, banyak perlakuan tak adil aku terima. 

Dulu aku punya sahabat yang masih ada ikatan saudara, namanya Sarah , usianya terpaut satu tahun lebih tua dariku. Sarah dan aku saat itu selalu bermain bersama. Saat liburan Sarah  sering menginap di rumah nenek Emi_bibinya Mama. Sarah adalah cucu dari Nenek Imah_ bibi Mamah yang lain. Nenek Emi sangat galak kepadaku, padahal tak pernah aku melakukan hal yang merusak atau bikin dia marah. Tapi setiap apa yang aku lakukan sepertinya dia tak suka, awalnya aku menganggap mungkin ia tak suka pada anak-anak. Tapi saat ada Sarah menginap di rumahnya, sikapnya sungguh berbeda. Nenek Emi tampak sayang terhadap Sarah, seperti pada cucu sendiri, beliau memang belum punya cucu. Saat itulah aku merasa dibedakan dan ada yang salah padaku atau orang tuaku, Entahlah..

Waktu aku kecil aku juga sering jadi objek suruhan orang. Misalkan ada tetangga yang butuh beli bumbu ke warung aku disuruh belanja ke warung. Ya semacam itu, meskipun terkadang mereka memberiku upah, tapi sebenarnya aku tak mau. Bukan aku tak ingin membantu, tapi anak seusiaku saat itu tak cuma aku saja, mengapa hanya aku yang berani mereka suruh? Mereka tak pernah berani menyuruh anak yang lain. Bahkan sering kudengar ejekan mereka, walau niatnya bercanda, mengataiku ANAK PUNGUT, jika aku menangis mereka senang dan tertawa. 

Semakin hari perlakuan ini membuatku tak nyaman dan sakit hatiku tambah parah.  Sampai aku malas harus keluar rumah dan pergi sekolah.
Di sekolahpun aku jadi anak yang minder. Padahal prestasiku terbilang lumayan, untuk anak yang sering bolos aku selalu masuk ranking. Meski saat SMP semuanya ngedrop, mungkin rasa minder yang berlebihan dan rasa ingin tahu yang banyak mengenai jati diriku tapi tak ada juga kejelasan membuatku semakin malas sekolah. Di SMA aku mulai bangkit, mengejar ketinggalanku dengan mulai mencetak rangking, Tapi Aku masih jadi anak yang minder dan pendiam. Saat itulah seharusnya aku membutuhkan teman untuk berbagi cerita mengenai masalahku di rumah tapi tak ada yang bisa aku percayai, aku terlalu malu. Akhirnya aku sering menumpahkan perasaanku di Diary yang tadinya cuma koleksiku saja. Inilah awalnya, aku suka menulis.

Kapanpun aku merasa sedih, aku pasti menuliskannya di diaryku. Baik itu dalam bentuk curahan hati ataupun puisi. Hatiku mulai lega jika sudah menukiskannya di sana. Walau saat diarynya penuh,segera kubakar atau aku buang, karena aku tak mau ada yang membacanya. Aku takut jika ada saudaraku yang membaca pastilah mereka akan memperolok aku. Begitulah, aku ganti diary yang baru dan membuang yang lama hingga aku bosan karena tak juga ada perubahan, selalu saja aku sakit dan menderita akibat perlakuan orang disekitarku yang makin seenaknya. Sampai usiaku 18 tahun ketika aku lulus SMA, semuanya makin meruncing. Aku tak lagi diam. Aku jadi orang yang melawan dan menyerang mereka, mereka semakin menganggapku tak berharga, masih juga tak aku temukan jawaban atas perlakuan mereka yang seperti itu.
 
Sampai akhirnya di usia yang ke 19 tahun. Saat itu kami pindah rumah, karena semua tanah milik saudara-saudara yang lain dijual berbarengan. Semakin hari aku merasa sepi dan ada yang mengganjal di hati, meski mereka telah jauh tapi jawabannya belum kutemukan mengenai siapa aku sebenarnya sampai mereka bersikap begitu?

Aku tak betah di rumah yang baru, karena saat itu aku tak ada kegiatan. Sudah setahun aku lulus SMA, sempat bekerja tapi hanya karyawan kontrak dan mengakibatkan aku menganggur dan diam di rumah. Akhirnya aku ingin pesantren, mama tak mengijinkan. Saat itu sering kudesak mama untuk mengaku apa aku bukan anaknya. Tapi mamah selalu bilang aku ini anaknya. Ada perasaan yang tak bisa aku tolak, ingin sekali aku pergi dari rumah. Karena aku memaksa akhirnya mama mengijinkan aku untuk mengikuti pesantren. Singkat cerita aku hanya bertahan 3 hari di sana. Sepulang dari sana, aku mengalami sakit yang aneh.

Selama tiga bulan aku tak dapat bicara dan bergerak. Para tetangga banyak yang menganggap aku diguna-guna orang. Parahnya, mereka menggunjingkan penyakitku di depan mataku. Mereka fikir aku tak akan mengerti.Selama tiga bulan itu aku tak bisa berkomunikasi dengan siapapun meskipun hati ini ingin melakukannya tapi mulut dan ragaku tak bisa melakukannya, semua anggota tubuhku seperti terkunci total. Aku hanya bisa mengangguk, dan menangis tanpa suara. Setiap hari aku bisa melihat hal-hal aneh berseliweran di depan mataku, orang dengan tanduk, orang berwajah hewan dan lain sebagainya, tapi lama-lama aku terbiasa.

Saat sakit inilah menjadi hal yang tak terlupakan dalam hidupku. Selama sakit aku jadi tahu siapa orang-orang di sekitarku sebenarnya. Bantuan banyak aku terima, tapi cibiran juga tak mampu aku halau. Bahkan ada yang tega menyebarkan gosip bahwa aku diguna-guna oleh teman laki-laki yang menyukaiku, sampai aku jadi gila seperti sakit yang sekarang. Pernah ada juga kerabat dekat Bapak, mencoba ingin membantu. Tentu saja Mama dan Bapak merasa senang. Tapi apa yang mereka tawarkan, mereka menyuruh Bapak untuk membawaku ke rumah sakit jiwa dan aku akan dirawat disana selama diperlukan. Hampir saja Mama mau, karena melihat kondisiku yang semakin parah. Untungnya Mama merasa tak tega, akhirnya aku dibawa ke psikiater di RS hasan sadikin. Aku di tes disana lewat verbal dan tulisan. Karena badan dan suaraku yang tak bisa difungsikan saat itu dokter hanya membacakan semacam pertanyaan dan menyuruhku menjawab dengan kedipan. Alhamdulillah, Dokter ada di pihakku. Dia bilang kesehatan psikisku normal dan tak terganggu. Tidak ada depresi atau gangguan jiwa apapun. Disana Mama mulai lega, lantas melakukan beberapa tes kesehatan lainya seperti pemeriksaan darah dan lain-lain. Saat itu aku dirujuk ke sebuah laboratorium terkenal untuk cek seluruh kesehatan. Hasilnyapun normal tak ada gangguan apapun. Mama dan Bapa semakin bingung harus mengobatiku dengan cara apa.

Akhirnya ada saudara Mama yang menganjurkan untuk membawaku ke pengobatan secara Islam. Saat itu aku dirukiyah dan dibekam. Setelah dirukiyah ada kemajuan yang aku rasakan meski banyak hal-hal aneh  yang tampak di mataku, tapi mereka tampak tak menyeramkan lagi. Sedikit-sedikit mahkluk-mahkhluk itu hilang dalam pandanganku. Aku mulai bisa makan dan minum meskipun  harus disuapi
.
Pada hari ke 21 aku sakit, malam harinya ada hal aneh. Padahal setiap malam Mama terbiasa mengadakan pengajian di rumah dengan harapan dapat mempercepat kesembuhanku. Saat pengajian bubar ada hal aneh terjadi pada tubuhku aku merasakan panas yang amat sangat. Tapi kata Mama badanku dingin seperti es, jari-jariku membiru, kurasakan pegal yang hebat pada semua persendianku. Kulitku menghitam. Mama dan Bapak kaget dan segera membawaku ke Rumah Sakit Rajawali, tempat Bapak bekerja. Kami pergi diantar pamanku dengan taksi. Sesampainya di Rumah Sakit, aku dilarikan ke UGD. Aku langsung dicek darah, lagi-lagi hasilnya normal. Saat itu jam 2 malam, tiba-tiba saja suhu tubuhku kembali normal aku tidak merasa kepanasan dan tidak lagi menggigil dan dingin dipegangan Mama. Kemudian aku dibolehkan pulang, karena dokter bilang tak ada yang berbahaya.

Setelah kejadian itu dan tepat 30 hari aku menderita sakit. Akhirnya aku sembuh begitu saja. Entah bagaimana awalnya saat pagi sekitar jam sepuluh tiba-tiba aku memanggil Mama. Dan sembuhlah aku seperti sediakala.

Pertanyaan tentang jati diriku seolah terlupakan, baru setelah jodoh datang aku diberi tahu bahwa aku bukan anak Mama. 

Jika digambarkan, hatiku telah pecah berkeping keping karena luka ini. Sekian lama bertanya-tanya, rupanya jawabannya membuat luka baru lagi bagiku. Aku tak langsung dapat menerimanya.

Saat itulah akupun tahu bahwa aku adalah adik mama. Ayah sakit keras, saatku masih di dalam kandungan ibuku yang juga ibu tiri Mama. Dengan bekal surat dari Ayah, Mama menjemputku saat kelahiranku dan membawaku ke Bandung dan dijadikan anaknya.

Begitulah kisahku dalam mengetahui jati diriku, sungguh rumit. Tapi aku ambil hikmahnya. Aku yakin semua ini karena Allah sayang padaku.

Alhamdulillah kasih sayang yang hilang saat aku kecil tergantikan saat aku telah menikah. Suamiku dan keluarganya menerimaku apa adanya. Lambat laun aku dapat menerima kenyataan ini. Dan aku tak peduli lagi dengan apa yang orang lakukan padaku di masa lalu. Meskipun terkadang menyeruak rasa sakit dihatiku, tapi sesegera mungkin aku hempas. Aku berusaha melupakannya, dan meyakini bahwa Allah selalu sayang pada hambanya yang bersabar...

Kepingan hati ini selalu kujaga agar tak berserakkan. Meskipun tak bisa utuh lagi, jangan sampai hancur dan menjadi debu...


Semua yang hilang akhirnya tergantikan.... dengan yang lebih...


"Tulisan ini diikutsertakan
dalam giveaway Keping Hati”

3 komentar:

  1. waw, kisah ini seperti nyata. Apa iya?
    Nice story, walau ada salah ketik heheh, but its okey.
    Kusimpan ya. Semoga menjadi yang terbaik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang kisah nyata Mbak, iya Mbak makasih komentarnya :)

      Hapus
    2. wah, perjalananmu panjang dan berliku ya.... punya cerita buat anak cucu nanti...

      Hapus