Akulah Raini, si gadis hujan
Hari ini hujan datang lagi. Bagi orang lain hujan bisa jadi hanya pengganggu, tapi dia adalah hidupku. Hari ini hujan, dan aku harus semangat.
"Cepat, Rain! Lihat mulai hujan, ini
kesempatan kita.. ayo pergi, jangan lupa
payungmu.."
Aku bergegas mengambil payung yang kuletakkan di belakang dekat kamar mandi, tak lupa segera aku mengenakan jas hujanku. Aku segera berpamitan pada Ibu
dan berangkat dengan hati yang menggebu.
"Ini rejeki dari Tuhan.." ucapku penuh syukur. Ya, hujan adalah ladang emasku.
Biasanya aku, mangkal di pinggir Mall yang dekat dengan rumah.Tapi kali ini, aku lihat di sana ramai sekali dan penuh dengan ojek payung.
"Wah, banyak saingan!" Kataku.
Ku telusuri jalan dan trotoar, sesekali kusebrangi jalan dengan tujuan mencari gedung-gedung yang ramai pengunjung dan sepi ojek payung.
"Rain, masih nyari mangsa ya?" Tanya Amat teman seprofesiku.
"Iya nih, habis di tempat biasa banyak saingan." Jawabku sambil melambaikan tangan karena Amat sepertinya terburu-buru, dia sedang dalam tugas mengantarkan orang dengan payungnya.
Sampai akhirnya aku lelah juga, ku lihat kebelakang jauh juga langkahku dari tempat
biasa mangkal. Ku putuskan berhenti di suatu gedung perkantoran. Untungnya hujan masih berlangsung. Aku tutup
payung, segera ku masuk di halaman kantor, diam di dekat pintu masuk, berteduh di bawah atap yang menjulang tepat menutupi kepalaku.
Tak apalah aku
mangkal disini saja,pikirku.
Aku menunggu orang yang hilir mudik ke luar dan menunggu hujannya reda, aku mulai gelisah karena belum ada yang berminat dengan jasaku. Aku diam dan
melamun. Bisa gawat kalau hari ini tanpa penumpang payung, mau bekal apa besok adikku sekolah.
Sudah 3 tahun aku putus sekolah dan setiap musim hujan aku menjadi ojek payung. Di hari biasa aku biasa jadi tukang cuci di Laundry milik tetanggaku.
Ah, ada yang menghampiriku. Sepertinya dia butuh jasaku. "Antarkan saya ke
seberang jalan ya dik.." Katanya dengan sopan, bapak-bapak itu membenarkan setelan jasnya. Kuberikan payung besar ke
tangannya.
"Ayo..!", katanya. Aku
mengikutinya dari belakang.
Bapak itu terlihat terburu-buru seperti ada yang sedang menunggunya.
Kamipun menyeberang jalan dengan menengok ke kiri dan ke kanan terlebih dahulu. Aku terus mengejar langkahnya yang besar dan cepat.
Di seberang jalan dia menghentikan langkahnya sejenak seperti ingin aku menoleh ke arahnya. "Ya, di sebelah sana
sedikit ya, saya mau ke gedung itu." Ia menunjuk gedung yang terlihat seperti Restoran.
Setelah dekat dengan pintu, diapun menutup payungku dan mengembalikannya ke tanganku.
"Ini, apa kurang?" Katanya sambil
mengepalkan uang padaku. Lantas ku lihat uang yang kugenggam itu, selembar uang seratus ribu.
Aku kaget lantas spontan
berkata "terlalu banyak pak!." Dia hanya tersenyum, mengangguk dan pergi begitu saja.
Seratus ribu, fikirku itu jumlah yang terlalu besar untuk harga jasa ojek payung sepertiku.
Harusnya aku senag, tapi dalam
hati aku jadi gundah. Apa ia tidak salah memberikan uang? Mungkin ia salah lihat. Ah, entahlah..
Aku memutuskan pulang, karena dengan uang itu sudah cukup untukku memenuhi kebutuhan di hari esok. Dan hujan sepertinya sudah mulai mereda.
__________________________________________
Di rumah aku memberikan uang itu kepada ibuku. Tapi dalam hati aku masih memikirkan Bapak-bapak kantoran itu. Aku pikir besok aku harus menemuinya lagi dan menanyakan tentang uang itu, takut-rakut ia salah memberikan uang padaku dalamm jumlah yang besar. Kalapun ia salah aku tak
dapat menggantinya, biarlah aku mau mengantarkannya dengan payungku secara gratis selama beberapa hari.
"Rain, ayo makan!" Ajak ibu padaku.
"Duduklah disini, kak.." Adikku
memanggilku." Terimakasih ya Kak, Kakak mau hujan-hujanan untuk makan kita kali ini."
Aku hanya tersenyum. Karena aku tak bisa menjawab ucapan terimaksih itu. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membuat keluarga kami tetap ada dan
berkumpul. Ayah telah pergi dan hanya aku dan ibu yang bisa menjaga adik sebatas kemampuan kami.
_____ Insyaallah Bersambung_____
Tidak ada komentar:
Posting Komentar