Kamis, 04 Desember 2014

Bukan Menantu Idaman

Tak terasa sudah tujuh tahun, sejak pertama kali kumelihat senyum mengembang di bibirnya. Wanita muslimah yang bersahaja, sederhana namun penuh kharisma dialah ibu mertuaku.

Dalam bilik hati kusimpan namanya dengan rapi. Meski kini dirinya sudah tiada, tapi kearifannya selalu menjelma dalam kenangan. Betapa besar hatinya menerima kehadiranku, seorang menantu bagi anak laki-laki terakhirnya. Wanita dengan banyak ini, berhati besar. bagaimana tidak dengan tulus dia mengabulkan pernikahan yang sudah aku impikan, meski sejak awal aku merasa telah mengecewakannya.

Aku menikah dengan putranya yang terakhir dimana ada putranya yang lain yang belum berkeluarga. Aku cukup tahu diri seorang ibu mana yang dengan gegabah menerima begitu saja pernikahan tanpa memperhatikan perasaan putranya yang lain. Tapi keluarga suamiku sungguh ajaib, dari awal mereka tidak mempersulit keberadaan diriku.

Oh, aku teringat teman lamaku yang sampai saat ini belum juga menikah karena urusan restu. Dia yang anak bungsu harus menunggu kakaknya menikah terlebih dahulu. Dia tak mau kakaknya cemburu. Bahkan ada kisah tetanggaku yang sampai sakit karena keinginannya untuk menikah terhalang restu kakak perempuannya yang tak kunjung menikah, kemarin baru kuketahui kelanjutan kisahnya tetanggaku itu telah wafat karena penyakit lever, dan belum sempat mewujudkan pernikahannya, innalillahi ...

Terkadang aku merasa, kebahagianku sekarang tak akan menjelma tanpa kebesaran hatinya merestui kami. Sampai saat ini pun beliau sering hadir dalam mimpi, mengenakan mukena putih dan mengajakku shalat di Masjid yang ada di hadapan rumahnya. Mungkin semua karena aku terlalu merindukannya, merindukan tegur sapanya, yang selalu berbicara penuh makna.

Maaf ibu, jika mulut ini jarang metapalkan do'a untukmu ...

Dan maaf, untuk waktu yang teramat singkat bagi kita ..., sehingga tak banyak waktu untuk kita saling banyak mengenal. Tapi aku terima ketulusanmu sejauh nafasku sejak kumengenalmu. Maaf jika aku belum menjadi pendamping putramu yang baik, maaf jika aku belum dapat menjadi ibu yang baik bagi cucumu. Dan maaf selama ini belum bisa menjadi menantu yang idaman, terlebih karena kesempatan itu semakin kecil. Aku berharap kebesaran hatimu itu berbuah syurga bagimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar