Kamis, 17 April 2014

Pulang Kandang

Sudah ada satu bulan Surti tak pernah menyapa suaminya, Rangga. Pun begitu dengan Rangga, laki-laki yang hampir seperti mayat hidup itu sudah sejak lama tak acuh pada istrinya.

Bermula dari sms yang katanya nyasar, berisi argumen kasih sayang dari dambaan hati. Rangga memaafkan Surti atas sms nyasar itu, walau hanya di mulut saja. Sikapnya yang dingin makin membeku, dia seperti tak bersosok di rumah itu. Perannya hilang. Sebagai suami, ayah, menantu, tak dihiraukannya lagi. Mungkin ia begitu kecewa, entahlah.

Pagi yang super ribut, setiap kali anak sekolah, Rangga yang bersiap kerjapun menjadi super heboh. Suasana kacau dan berantakan membuat Surti stres setiap hari.
Surti bukan istri yang telaten ngurus anak dan suami. Karena terlalu lama ia menginduk pada orang tua, hingga tak pernah ia menyelesaikan urusan tanpa bantuan orang tua. Mereka menjadi pasangan yang tidak mandiri. Terlalu lama santai dan terlena. Tak terasa usia pernikahan yang sudah 7 tahun, membuat Surti risih jika dibandingkan dengan teman-teman sebayanya yang telah mandiri. Hidup ngontrak, menjalankan rumah tangga seutuhnya tanpa campur tangan orang tua.

Surtipun bukan tak ingin seperti itu, sering kali ia meminta Rangga untuk bisa tinggal pisah dengan orang tuanya. Entah apa yang ada di pikiran suaminya, permintaan Surti selalu dibantahnya.

"Aku bosan didiamkan seperti ini, kamu ini kenapa?" Tiba-tiba saja Rangga memecah keheningan yang baru saja dirasakan selepas anak-anak pergi ke sekolah.

"Saya sudah tak tahan!" Tambahnya lagi. Dia pergi ke kamar dan membereskan pakaian. Ia masuk-masukan barang-barang yang menurutnya penting ke dalam tasnya yang besar.

Surti hanya bisa diam karena terlalu kaget dengan ekspresi dadakan ini.

Ranggapun keluar dari kamar. "Ini kan yang kamu mau? Ya, aku pergi saja biar kamu bebas."

Pertanyaan Rangga yang seperti itu, bagai membuka jalan emas bagi Surti. Surti yang sejak lama tak tahan dengan sikap suami yang sangat tidak perhatian dan sering menghilangkan perannya sebagai kepala keluarga.
Dengan nekat Surtipun angkat suara, "Iya memang lebih baik kita cerai, karena sama saja ada atau tiadanya suami buatku."

Dengan emosi Ranggapun pergi....

Surti tak gelisah sama sekali, tak khawatir dengan laki-laki yang masih jadi suaminya itu. "Paling juga pulang kandang," batinnya menerka mau kemana suaminya itu melangkah. Mudah menerka karena tak ada tempat yang jadi pelarian Rangga selain rumah ibu bapaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar