ShilpaStory
All about The Story of my dreams
Selasa, 27 Oktober 2015
Mimpi yang kukubur dalam
Kamis, 04 Desember 2014
Bukan Menantu Idaman
Tak terasa sudah tujuh tahun, sejak pertama kali kumelihat senyum mengembang di bibirnya. Wanita muslimah yang bersahaja, sederhana namun penuh kharisma dialah ibu mertuaku.
Dalam bilik hati kusimpan namanya dengan rapi. Meski kini dirinya sudah tiada, tapi kearifannya selalu menjelma dalam kenangan. Betapa besar hatinya menerima kehadiranku, seorang menantu bagi anak laki-laki terakhirnya. Wanita dengan banyak ini, berhati besar. bagaimana tidak dengan tulus dia mengabulkan pernikahan yang sudah aku impikan, meski sejak awal aku merasa telah mengecewakannya.
Aku menikah dengan putranya yang terakhir dimana ada putranya yang lain yang belum berkeluarga. Aku cukup tahu diri seorang ibu mana yang dengan gegabah menerima begitu saja pernikahan tanpa memperhatikan perasaan putranya yang lain. Tapi keluarga suamiku sungguh ajaib, dari awal mereka tidak mempersulit keberadaan diriku.
Oh, aku teringat teman lamaku yang sampai saat ini belum juga menikah karena urusan restu. Dia yang anak bungsu harus menunggu kakaknya menikah terlebih dahulu. Dia tak mau kakaknya cemburu. Bahkan ada kisah tetanggaku yang sampai sakit karena keinginannya untuk menikah terhalang restu kakak perempuannya yang tak kunjung menikah, kemarin baru kuketahui kelanjutan kisahnya tetanggaku itu telah wafat karena penyakit lever, dan belum sempat mewujudkan pernikahannya, innalillahi ...
Terkadang aku merasa, kebahagianku sekarang tak akan menjelma tanpa kebesaran hatinya merestui kami. Sampai saat ini pun beliau sering hadir dalam mimpi, mengenakan mukena putih dan mengajakku shalat di Masjid yang ada di hadapan rumahnya. Mungkin semua karena aku terlalu merindukannya, merindukan tegur sapanya, yang selalu berbicara penuh makna.
Maaf ibu, jika mulut ini jarang metapalkan do'a untukmu ...
Dan maaf, untuk waktu yang teramat singkat bagi kita ..., sehingga tak banyak waktu untuk kita saling banyak mengenal. Tapi aku terima ketulusanmu sejauh nafasku sejak kumengenalmu. Maaf jika aku belum menjadi pendamping putramu yang baik, maaf jika aku belum dapat menjadi ibu yang baik bagi cucumu. Dan maaf selama ini belum bisa menjadi menantu yang idaman, terlebih karena kesempatan itu semakin kecil. Aku berharap kebesaran hatimu itu berbuah syurga bagimu.
Ketika luka itu diusik kembali ...
Hati sudah berusaha tuk membebaskan, ya sudah merasa bebas. Tapi semuanya di uji ketika seseorang yang pernah mencabik-cabik jantung bahkan memporak porandakan kesabaran itu datang dan singgah lagi di rumah baru yang damai, dia datang dengan senyum tanpa cela, seolah memakai pakaian kesucian tak berdosa.
Tiba-tiba di kepala ini begitu ramai dengan suara,
"Jangan belagu, kamu. Orang gak punya berlagak pake ikutan sekolah segala!"
"Jangan sok kaya, kamu. Gaul sama anak sekolahan. Orang tua kamu itu cuma babu, bapa kamu juga cuma pegawai bang ... bangunan! haha...."
"Cuma anak panimu aja sok gaul, ngaca!"
Astagfirullah, batinku. Meskipun aku bukan anak dari orang berada, tapi aku bersyukur orang tuaku masih mementingkan yang namanya sekolah. Walaupun tidak sampai kuliah. Sudah menjadi kewajiban buatku untuk bersyukur dan berterimakasih kepada ke dua orang tuaku yang dengan segenap tenaga membesarkan dan mendidik aku sampai sejauh ini. Meski aku belum bisa dianggap orang yang sukses.
Wajah tamu itu berbinar-binar, entah apa hatinya sudah damai dari percikan api yang biasa ia muntahkan lewat mulutnya. Aku hanya menjawab celotehannya seperlunya, takut-takut kebiasaannya di masa lalu masih berlanjut (mengadu domba). Satu jam dia berbincang dengan ibu, penilaianku tentang dia yang saat ini sepertinya masih tak berubah. Dia merasa suci, bahkan dia terus mengungkit masa lalu yang baginya tak ada masalah, bahkan dia lupa dengan perilakunya di masa lalu, mungkin Allah belum menyadarkannya. Ya, aku mencoba mengobati diri, tenggelam di antara suara-suaranya yang terus berceracau, kualihkan pikiranku pada yang lain. sekedar ingin membuatku lupa dan jangan sampai luka itu terjamah lagi.
Aku sibukkan diri di dapur, mengisi panci dengan air dan menaruhnya di atas kompor yang menyala, mengambil sebungkus mie instan dari kardusnya. Ah, badanku terasa lunglai, aku kalah dan menghindar, tapi mungkin ini lebih baik dari pada aku terpancing amarah, suaranya masih kudengar dengan jelas dari sini. Aku merasa, kok ada ya orang yang tak punya malu, bahkan tak punya rasa seperti dia. Perasaanku, lama-lama larut juga pada kejadian di masa lalu. Terbayang lagi sekumpulan wajah-wajah yang melengkapi deritaku, yang kurang lebih semua adalah saudara kandung orang yang bertamu itu. Ya mereka yang selalu menguras tangisanku, tangan-tangan yang sering menyelakakan aku
.
Aku kembali ingat pada adiknya yang hampir mebakar rambutku, gara-gara terpancing emosi ketika kejahilannya aku lawan. Aku masih ingat dengan ancaman salah satu dari keluarganya yang ingin menistakan aku dengan dosa. Aku jadi teringat kembali, ketika aku putuskan untuk menyendiri dan tak mau bergaul, salah satu dari mereka mengira aku hamil. Astagfirullah, apa orang seperti itu pantas dianggap saudara, tapi aku masih menganggapnya saudara. Entah, aku tak bisa membalas segala perlakuannya, entah aku yang pura-pura sabar, bodoh, atau tak bernyali. Tapi satu yang aku yakini, semua akan ada balasnya. Aku meminta yang terbaik bagiku dan bagi orang-orang itu. Selama lebih dari dua puluh tahun, satu persatu Allah perlihatkan, bahkan tanpa aku minta.
Suara air mendidih juga mie yang matang, masih tidak membuatku beralih lamunan, di pojok dapur kunikmati mie instan yang berbumbu tangisan. Leher ini seperti tercekik, aku masih sakit, Ya Allah, aku menyadari belum bisa ikhlas dengan mereka, ampuni hamba ... dan jangan sampai hamba kembali menyimpan kebencian.
"Mamah lagi apa?" seorang bocah kecil menghampiriku, Aku jadi malu. Segera kuseka pipi yang basah dan mata yang berkaca ini.
Tiba-tiba si tamu berpamitan, selepas dia pergi. Aku melihat wajah ibuku yang berubah.
"Kenapa Mah?"
"Nggak aneh aja, orang yang dulunya galak sama kamu, sekarang mau minjem uang ke mamah, kok bisa ya ...."
Aku hanya dapat menarik napas panjang, teramat-amat panjang.
Pagi yang aneh, hari yang aneh dan tamu aneh.
Bandung, 4 Desember 2014.
Sumbergambar: MangGugel
Kamis, 16 Oktober 2014
Cinta yang Kugantung
Rabu, 09 Juli 2014
Antara sorak dan tangis
Hari ini wajib mandi pagi, soalnya TPS udah siap minta dikunjungi. Nuansanya sudah seperti tenda hajatan, ditutup dinding terpal.
Tetangga juga mulai ramai, siap-siap di depan rumah masing-masing. Ada juga yang lewat depan rumah dan mengingatkan agar tak lupa menggunakan hak pilih kita hari ini. Perasaan tahun ini heboh banget ya, dari yang orang bukan apa-apapun sibuk menangin capresnya. Ibu-ibu yang tinggal di beda blok denganku saja, sampai ngingetin untuk nyoblos jagoannya.
Tapi PEMILU kali ini terasa lebih tenang bagiku, karena kedua calonnya jelas ada dan tahu, tak seperti pemilu kemarin pas bagian nyoblos caleg banyaknya gak kenal, dan akhirnya pilih orang yang terkenal tanpa tahu apa programnya.
Alhamdulillah sudah pilih salah satu dari dua pilihan yang ada. Tinggal duduk manis dan berdoa, Allah yang maha menentukan. Allah juga tidak akan diam. Berharap siapapun yang maju jadi presiden mudah-mudahan yang terbaik bagi indonesia.
Bersorak bagi yang menang belum tentu juga Indonesia lebih baik. Menangispun bila kalah bisa jadi itu kekalahan yang baik di mata Allah. Berserah saja semoga negara ini berjodoh dengan pemimpin yang dapat membawa pada kemajuan dalam berbagai bidang. Aminn...
Minggu, 06 Juli 2014
Bekerja sambil ngasuh anak itu tidak mudah
Bekerja, menikah dan tetap memilih bekerja bukan hal yang sulit selama mendapat restu suami. Tapi selama hamil masih bekerja tak semua orang sanggup melakukannya, karena setiap kondisi kehamilan tidak selalu sama pada tiap orang.
Alhamdulillah, setelah menikah masih bisa bekerja, hamilpun masih bisa beraktifitas seperti biasa. Bahkan setelah melahirkan dan menghabiskan masa cuti yang pendek bisa kembali bekerja dengan normal. ASI pun masih bisa kuberikan dengan maksimal, sehingga tak ada perasaan bersalah yang berlebihan karena telah meninggalkan bayiku selama bekerja. Secara juga bayiku ada yang menjaga dengan baik.
Sekarang bayiku sudah tumbuh besar, usianya sudah menginjak 4 tahun. Meninggalkannya bekerja tak lagi semudah dulu, tinggal pamit sama yang menjaganya. Sekarang yang kulakukan untuk pamit bekerja lebih rumit, karena anak tidak selalu bisa diajak kompromi, terkadang ada saja syaratnya agar aku bisa lolos dan diijinkan pergi kerja. Artinya sekarang dia lebih sering menahanku untuk diam di rumah dan menghabiskan banyak waktu untuknya. Ya, enak juga sih bisa seperti itu. Ibu mana yang rela terus menerus meninggalkan anaknya untuk bekerja? Tentu aku juga ingin bisa jadi ibu rumah tangga seutuhnya tapi masih bisa berpenghasilan walau hanya diam di rumah, tapi belum bisa sekarang. Rupanya perlu banyak ilmu dan kesabaran untuk mencapai sesuatu yang kita anggap hal yang nyaman dan membahagiakan. Aku harap selama aku belum dapat mewujudkannya, selama itu pula aku bisa mendidik anakku menjadi anak yang kuat dan pengertian bahwa ibunya bekerja karena sayang dan bukan sekedar mencari materi.
Selasa, 01 Juli 2014
Catatan hati seorang ibu..
Menjadi seorang ibu bukanlah hal yang mudah, tentu semua orang sudah tau itu. Hal ini merupakan.tantangan yang nyata harus kuhadapi saat ini. Anakku yang terus bertumbuh besar memerlukan dukungan pendidikan yang paling utama ialah asuhan terbaik dariku sebagai seorang ibu.
Akhir-akhir ini, aku sedikit kewalahan menghadapi anakku yang aktif, tak hanya saat bermain saat mau tidur dan kelelahan pun mulutnya tak berhenti bicara tentang hal-hal yang ia ingin ketahui. Tentunya aku senang artinya anakku tumbuh normal di usianya yang baru 4 tahun. Tapi ada yang aku khawatirkan karena aku tak selalu bisa mendampingi putraku ini. Aku bekerja secara sift. Ada 2 sift. Sift pagi dari jam 10 sampai jam 6 dan sift siang dari jam 2 sampai jam 8. Siftnya terbilang mudah untuk dapat berbagi waktu dengan anak, ya sedikit beruntung tidak seperti ibu yang bekerja full di kantornya sehingga sulit sekali menemukan kebersamaan dengan anak.
Tapi terkadang pekerjaan yang tidak terlalu menyita waktu itu justru menyita pikiranku, dan tidak jarang juga aku kurang konsentrasi dalam mengasuh anak. Akibatnya aku hampir lalai karena banyak pikiran. Sedih kalau anakku jadi korban, jangan sampai. Bagaimana ya, agar aku bisa enjoy di rumah tanpa kepikiran terus masalah kerjaan. Sementara memilih melepas pekerjaan bukan keputusan yang baik untuk waktu sekarang. Artinya aku harus punya solusi yang baik. Ya itu dia, aku tidak boleh bosan diam di rumah. Mungkin itu yang membuat kepalaku mumet di rumah, belum lagi kalau anak mulai banyak tanya ini itu. Duh, saking terus-terusannya gak berhenti ngomong dan berpikir jawaban apa yang pantas buat anak bisa ngehang duluan kepalaku. Akibatnya jadi stress, padahal udah kewajiban aku memberikan asuhan juga jawaban yang baik pada anakku.
Nah, hari ini aku libur. Giliran anakku menyerang dengan daya imajinasi anak-anaknya yang bermain. Aku siap-siap aja capek ngomong. Tapi aku harus bisa dan berhasil membuat dia paham dengan apapun yang ingin ia ketahui tentang dunianya. Inilah tugas ibu dan aku harus enjoy. Makanya aku harus bisa membagi kepalaku jadi dua. Yang satu urusan kerja satunya urusan anak. Urusan kerja harus kusimpan di lemari dan saat di rumah adalah waktunya senang-senang sama si kecil.
Artinya aku harus bisa berperan dan jadi teman si kecil yang baik.