Sorepun menampakan wajahnya dengan tanda mentari yang kelelahan dan mulai menunduk menjauh dari ketinggian langit, ia malu dan tersamar senja yang kemerahan...
Oh hariku lelah, setelah seharian berkunjung ke rumah saudara dan kerabat mama. Liburanku membosankan selama beberapa hari ini di kota kelahiranku, Cirebon.
Tak ada yang membuatku semangat berada di sini, semua tampak sama tak kukenali wajah-wajahnya, bahasanya apa yang menjadi pembicaraannya, tak membuatku tertarik sama sekali. Aku akan semangat jika nanti pulang ke Bandung.
Ya, besok aku akan pulang. Entah apa pulang atau pergi, sebenarnya di mana rumahku? Di sini ataukah di Bandung?
Jika aku pulang, ada saja ritual yang selalu mereka buat. Sebelum aku pulang mereka selalu mengantarkanku ke suatu tempat yang jauh. Berjalan kaki dengan melewati hamparan rumput dan tanah yang berbatu, ditemani angin-angin dipersawahan. Oh mengapa mereka selalu membawaku ke tempat ini.
Ditengah perjalanan aku selalu bertanya, "Mah, sebegitu pentingkah bagiku untuk selalu singgah ke tempat ini?"
"Ya, tentu saja" katanya, "kamu bisa tahu dia itu kakekmu sudah sewajarnya kita mengingat beliau."
Sampailah kami pada gundukan tanah yang mengering. Di tempat ini terlalu banyak gundukan tanah yang serupa, tapi entah bagaimana mama masih ingat letak makam kakek dengan tepat. Tak ada batu nisan ataupun marmer di sana.
Kami duduk, terdiam.
Masih saja aku bertanya, "benar yang ini kan mah?"
"iya yang ini, tandanya pohon jati ini." Yang menjawab pertanyaanku bukan mama, malah adik tiri mamaku yang sejak tadi mengantarkan kami berdua kesini.
Aku masih ingat ketika kakek dimakamkan beberapa tahun yang lalu, saat usiaku masih 5 tahun. Begitu banyak derai air mata yang mengiringinya dan begitu banyak orang yang menangisi keberadaanku. Padahal aku tidak begitu kenal dengan kakekku, sejak aku lahir kakek sudah terkena stroke dan aku tak pernah berbicara dengannya.
Hal yang paling kuingat tentang kakek adalah genggaman tangannya yang seolah tak ingin lepas dariku, dengan linangan air mata yang mengalir deras. Saat itu terakhir kali kulihat kakek masih bernafas, karena setelah beberapa bulan kemudian kami kembali menemuinya untuk memakamkannya.
Di pemakaman itu aku menjadi sosok yang tak tahu apa-apa. Mereka menangis, berbagi kisah, mengenang kakek dan ketika mereka pergi mereka kembali melihatku dengan mata yang nanar, berbisik dan meneteskan air mata.
Andai saja bisa ku tanya saat ini pada kakek, mungkin kakek akan berkata jujur. Tapi tinggal gundukan tanah yang ada di hadapanku kini. Engkau tak dapat berkata. Tapi aku yakin suatu saat akan ada jawaban, dan mungkin nanti aku yang akan menangis untuk kakek. Ya entahlah, mengapa mereka selalu membawaku kesini, ke makam kakekku, Yahya Dasmo...
Dan mengapa mereka selalu bilang "iki anake kita.." tentu nanti pasti ada jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar