Setiap kali kupandang ke dalam kornea yang redup itu, aku selalu bersedih. Melihat
gurat-gurat halus di wajahnya yang tak lagi muda, bukti bahwa hidup telah
membawanya jauh pada lembah yang terjal untuk di jalani. Ia adalah Ibuku. Satu-
satunya orang yang kumiliki di dunia ini.
Lapis demi lapis lembaran kitab dibacanya, diselingi
banjiran air mata yang mengenangi sajadahnya. Ibu, apa yang kau pikirkan? Di
setiap pandanganku kau sembunyikan beban dan tangismu tapi di hadapan sajadah
itu kuiintip kau selalu menangis. Ibu apa itu karena masa lalu yang enggan kau
ingat lagi? Sungguh mulia dirimu menerima aku, sebagai hadiah dari Allah.
**
“Nur, jangan kau
dengar apa kata orang .., percaya saja pada ibumu.”
“Iya Bu, aku tak mempercayai mereka .. Tapi bukan berarti
aku tak ingin tahu. Aku ingin mendengarnya langsung darimu, Ibu..”
Wajahnya seolah menoleh pada dimensi lain. Menerawang dalam
bisikan angin yang menyentuh rerumputan. Tersembunyi rasanya padaku.
Menghindar perlahan, itulah Ibu. Sunyi, Sunyi dan lenyap dari perbincangan
kami.
Sebenarnya apa yang Ibu pikirkan? Ingin sekali aku bertanya langsung padanya. Tapi aku selalu tak kuasa
melihat air muka yang beliau pajang, setiap kumulai pertanyaan menyangkut
asal-usulku. Ibu, aku tak berani menyakitimu. Pernah ibuku berkata dengan nada
yang tertahan, “Kamu itu anakku, hanya Aku yang kamu miliki di dunia ini. Kamu
bukan anak haram …”
Anak haram, itulah label yang seumur hidup harus melekat
dalam jati diriku. Walaupun kini diriku telah lulus kuliah. Ada saja yang
mengatakan hal itu, terutama saat mereka mempertanyakan siapa ayahku.
**
“Nur, apa setiap orang yang pergi haji akan mendapatkan
balasan atas perbuatannya di tanah suci?”
“Tidak tahu Bu, hanya Allah yang tahu. Kenapa ibu bertanya
begitu?” kulihat wajah ibu mematung, matanya menelisik dimensi lain. Ia seperti
membayangkan sesuatu, matanya berkaca. Ia lantas menghapus air bening yang
tiba-tiba menuruni dataran wajahnya menuju dagu namun segera tertepis oleh
sapuan tangannya.
“Astagfirullah..” suaranya begitu pelan seperti tak ingin
melanjutkan perbincangan. Jika sudah begini, aku tak berani bertanya apapun.
Aku bisa merasakan bahwa ia sedang merasakan sesuatu yang sakit dan tak dapat
di lupakannya, sesuatu yang terjadi di masa lalu, dan sesuatu yang bersangkutan
denganku.
Aku ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi padanya di masa
lalu, melihat ekspresinya yang seperti itu sudah bisa aku tebak itu adalah hal
yang sangat berbekas dan mungkin juga ibu trauma dengan sebuah peristiwa. Tapi,
apa itu? Aku hanya bisa menerkanya, terkadang aku banyak menebak-nebak tentang
hal itu, tebakanku selalu berubah dan belum menemukan jawaban yang pasti. Aku
harus sabar, hingga ibu membuka rahasia ini padaku. Karena, pada siapa lagi aku
harus bertanya, sedang tak ada satupun orang yang bisa dipercaya di sini. Ya,
kampung ini, mereka semua mengucilkan kami.
Ibu aku akan menunggu saat hatimu kau buka, agar bisa
membagi bebanmu padaku. Hanya itu yang aku harapkan agar aku dapat melakukan suatu
hal yang baik padanya. Membalas segala kebaikannya selama ini. Ibu yang
membesarkanku sendirian.
***
Sebenarnya kami bukan orang miskin, sebelum aku lahir ibuku
adalah seorang yang berada, istri dari seorang kepala desa. Ibu dan Bapak
bercerai sebelum ku lahir. Ini yang menjadi sebuah tanda Tanya bagiku, karena
kejadian ini orang beranggapan bahwa aku adalah anak haram yang mengakibatkan
Ibu diceraikan bapak. Tapi aku tahu, rasanya tak mungkin jika ibu melakukan
hubungan gelap atau hal yang tidak pantas. Ibu menyembunyikan peristiwa ini
dariku. Ibu hanya bilang bahwa aku ini hadiah dari Allah, karena telah
menjauhkannya dari cinta Bapak. Dan jika aku bertanya siapa bapakku, Ibu akan
meneteskan air mata tanpa jawaban. Semula aku tak mengerti tapi kini aku pikir
akan lebih berarti jika ibu menceritakannya atas kehendaknya sendiri, maka itu
aku harus bersabar. Tidak boleh berpikir negatif.
Tak ada seorang pun teman yang kumiliki disini. Mungkin
karena sejak kecil Ibu menempatkanku di sekolah asrama yang jauh dari kampung
ini. Ibuku juga tak punya saudara, karena sebetulnya Ibu hanya pendatang. Entah
kenapa, Ibu begitu mencintai tempat ini. Padahal mantan suaminya masih tinggal
di sini bersama keluarga barunya, belum lagi masyarakat yang sering
menggunjingnya. Ibu begitu kuat untuk bertahan di sini.
Tahun ini rencananya Ibu akan berangkat naik haji, ini merupakan cita-citanya sejak lama. Tapi akhir-akhir ini Ia jadi begitu sering bersedih dan bertanya hal-hal yang aneh, hal yang ia takutkan dan hal yang tak aku mengerti. Mungkin, ia teringat tentang mantan suaminya itu, yang terkadang aku panggil ayah. Pernah aku dengar berita bahwa Ibu bercerai ketika suaminya baru pulang berhaji. Ibu masih mengandungku saat itu. Aku bayangjkan perasaannya pasti sangat sakit, apalagi seharusnya suaminya senang menerima kehamilan ibu karena aku adalah anak yang diharapkan selama bertahun-tahun, tapi entah mengapa Ibu malah dicampakkan.
***
Setelah lima tahun kuliah di kota lain kampung ini bertambah asing bagiku. Bosan juga aku berdiam diri di rumah dan memperhatikan Ibu yang selalu terjatuh dalam lamunannya. Aku jadi sendirian dan mulai merindukan suasana kota yang ramai. Hari ini aku putuskan untuk menghilangkan kejenuhanku dengan pergi ke kampung sebelah, mengendara motor. Mudah-mudahan saja di perjalanan ada hal yang menyenangkan dan berbeda dengan di sini.
Sebelum berangkat aku pamit pada Ibu, Segera menyalakan mesin motor dan menghembuskan angin di knalpot motorku, Breeemm ... Akhirnya, untuk sementara aku menjauh dari kampung ini. Menelusuri jalan dengan bergegas dan tak sabar hingga tiba di perbatasan. Aku lihat rumah besar dimana ibu selalu berhenti sejenak di sini, jika lewat. Mematung dan cepat-cepat meneruskan langkahnya. Bila itu terjadi, aku tak berani bertanya karena wajah ibu yang terlihat sedang menyembunyikan tangisannya tapi aku tak berhenti berpikir keras, dan aku ambil kesimpulan bahwa itu rumahnya dulu ketika masih bersama suaminya. Tiba-tiba aku sedih ingat kejadian itu. Ah, aku terlalu konsen memikirkan ibu, hingga aahh ..., Sreett Gubraak ... "Aduuh ..,"
Besambung ..., keburu ada customer dateng ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar