Cinta yang Kugantung
Oleh: Shilpa Yahya
Bulan separuh yang bernaung di balik awan, seperti
mengambarkan hatiku yang tinggal sisa. Menyepi dan kini sendiri. Masih tersisa
embun-embun bekas hujan tadi sore, udara masih terasa menusuk tulang dan daging,
demikian pula perasaanku.
Melihat pemandangan malam ini imajiku mengingat lagi masa
lalu. Hari-hari dimana dulu aku sempat bahagia dan bersama orang yang aku
cintai. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku akan selalu cinta, sekarang
pun aku sedang bertahan dalam cinta.
Teng.. Teng.. Teng.. Oh, rupanya bunyi jam itu mengagetkan
aku. Telah habis waktu istirahat, secepatnya aku harus melupakan lamunan ini. Aku kembali pada tugas yang
biasa harus kulakukan. Sambil menunggu majikan datang dan meminta dibukakan
pagar, aku mengepel seluruh ruangan agar tampak rapih di matanya. Memang lelah,
tapi semua aku lakukan demi cinta yang (semoga saja) masih menungguku.
Bunyi deruan mesin mobil telah terdengar di depan rumah,
sudah dapat kutebak bunyi klakson akan menyusul beberapa detik lagi.
TID.. TID..
Benar saja majikkanku telah memberiku aba-aba agar kumemburu kedatangannya. Aku
senang karena lelahku hari ini akan segera berakhir, tentunya setelah
menyiapkan makan malam terlebih dahulu.
“Malam Jum, bagaimana hari ini .., apa kedua jagoanku
merepotkanmu?” Tanya nyonyaku dengan senyumnya yang dapat membuatku lupa pada
letihnya badan ini.
“Tidak terlalu nyonya, memang sudah biasa kalau Abang sama
Adik sering berantem dan main kejar-kejaran. “
Nyonya majikanku ini orangnya
baik, santun dan dia sangat berwibawa. Walaupun
seorang janda, dia amat disegani di kota ini. Suaminya dulu pernah
menjadi Pejabat. Sayangnya maut memisahkan mereka, tinggalah ia dengan kedua
buah hatinya kini disini ditemani olehku. Aku tidak merasa seperti pembantu,
karena Nyonya sangat menghargai dan menyayangiku. Aku memang bekerja keras di
rumah ini, itu semua aku lakukan semata untuk membalas segala kebaikannya. Aku
ingin sempurna dalam semua pekerjaanku. Aku berkonsentrasi untuk itu, walaupun
sebenarnya kulakukan untuk melupakan pikiranku tentang hal lain. Ya, untuk
meredam rindu pada kampung, rumah, dan suamiku.
**
“Ceraikan saja dia ..” Bisikan suara Ibu masih dapet
kudengar dengan jelas. Kuintip dari balik pintu,
Mas Heru memasang wajah tak
enak.“Tidak mungkin Bu, aku sangat mencintai Sinta .., dan tak
ada alasan aku untuk menceraikannya.”
“Alasan? Kamu saja yang menutup-nutipinya. Lihat sampai kini
istrimu itu belum juga bisa memberi Ibu cucu. Apa itu bukan alasan? Suara Ibu
sekarang jelas terdengar olehku, aku tak sanggup menyaksikan lagi perbincangan
ini. Kututup saja pintu kamar, berbalik dan menjatuhkan diri di atas kasur
menyembunyikan kepala dan pikiranku dalam bantal.
Ah, aku tak sanggup, lirih dalam hatiku tak dapat kutahan.
Aku kecewa pada diri yang tak sempurna ini. Tapi aku tak pantas begitu. Aku
hanya manusia. Tuhan, aku akan menerima apapun, asal masih bisa menjadi istri
Mas Heru.
“Putuskan sekarang, ibu tak mau lagi menunggu!” Suara Ibu
dapat menembus telingaku yang kututup rapat. Rupanya emosi Ibu memuncak,
mungkin Mas Heru menyampaikan kerelaannya untuk tak berketurunan denganku. Mas
Heru memang sangat mencintaiku, dia tak pernah menuntun anak dariku, apalagi
setelah tahu ada masalah dengan rahimku.
“Tidak Bu, aku tidak mau meninggalkan Sinta. Aku sangat
menyayanginya..”
“Bohong kamu, paling kamu hanya kasihan ‘kan padanya?
Sudahlah Her, menikah lagi saja, dengan begitu kamu bisa punya anak, Ibu ingin
cucu … Kamu pun tidak harus menceraikan Sinta. Kamu ‘kan bisa poligami?”
“Apalagi begitu, Aku tak akan tega.”
“Harus bagaimana lagi ‘sih, Ibu meminta padamu. Apa kamu
akan membiarkan Ibu meninggal tanpa pernah menimang cucu Ibu sendiri, Her ..,
darah dagingmu?”
“Sabar saja Bu, mungkin Allah sedang menguji rumah tangga
kami.”
“Ini sudah lebih dari sepuluh tahun, mau menunggu sampai Ibu
mati? Her, Ibu mau cucu..” Nampak Ibu sangat emosi menghadapi mas Heru yang
dingin menyikapi masaah ini. Aku faham, mas Heru tak ingin melukai aku. Maka
tak pernah ia menyinggung masalah anak. Dia menutupi keinginan terbesarnya itu
demi perasaanku.
**
“Jaga kandungan kamu Sin, Cucu Ibu harus sehat ..”
“ Jangan khawatir, Bu .. Aku akan baik-baik saja.
Usia kandunganku 5 bulan saat itu, begitulah Ibu mertua
sangat menjaga keadaanku, memperhatikan dan masih menyayangiku, sebagai
menantunya.
Tapi semua itu sirna. Saat malam hari, tiba-tiba saja
kandunganku terasa sakit yang hebat. Ya, nyeri dan ngilu. Ku tak tahan menahan
rasa sakit ini. Hingga aku berteriak-teriak sehingga mengagetkan orang-orang
yang ada di rumah. Aku lantas dibawa ke dokter kandungan. Dokter menanganiku
dengan hati-hati karena Ibu tak henti menyuruh dokter segera menanganiku.
Rupanya Ibu sangat panik hingga berkata-kata tak jelas pada dokter.
“Ini cucu pertamaku, selamatkan dia Dok .., tolong …”
Aku tak mampu berkata-kata karena sakitnya. Apalagi setelah
di USG ternyata aku hamil di luar kandungan. Oh batinku tak kusa menahan cobaan
ini, padahal tak sebentar aku tunggu kehadiran janin di rahimku ini. Empat
tahun pernikahan aku baru bisa hamil. Dan ternyata harus diangkat karena janin
berada di luar kandungan.
“Demi keselamatan menantu Ibu, terpaksa janinnya harus
diangkat. Tak mungkin juga dipertahankan karena ini bukan hamil normal Bu,
menantu Ibu mengalami apa yang sering orang sebut sebagai hamil anggur.”
Aku tahu perasaan Ibu pasti lebih kecewa.
Selama seminggu aku dirawat dan akhirnya boleh pulang. Wajah
ibu masih terlihat murung dan tak banyak berkata-kata padaku. Dia terus-terusan
menangis apalagi di hadapan suamiku. Batinku makin sakit. Tapi tidak semestinya
Ia begitu, Apa ini memang mauku? Semua ini cobaan, akupun tak mau, tapi tetap
harus menerima. Sabarku terus kupertahankan. Bukan hanya karena karena
kehamilanku yang akhirnya sirna tapi karena sikap Ibu yang berubah padaku.
**
Pernikahanku menginjak usia 10 tahun, masih saja masalah
anak menghantui hubunganku dengan mertuaku.
“Jangan Sinta, jangan pergi .. Apapun alasanmu jangan pernah
meninggalkan aku. Mohon mengerti, kulakukan semua karena ibu.” Pinta mas Heru
padaku untuk terakhir kalinya. Tapi tak dapat menolak hasratku untuk pergi
menjauh darinya. Bukan aku yang tak cinta lagi, tapi semua demi dia dan ibunya.
Akhirnya aku pergi dengan menyembunyikan tangisku di
hadapannya. Pergi menjauh dengan bayang kebahagiaannya dengan wanita lain--wanita
pilihan kedua orang tuanya—yang membuatku sakit . Tapi kami tak pernah resmi
bercerai. Tak pernah aku pinta cerai darinya, juga demikian ia padaku.
Kenapa aku harus pergi darinya, sedang aku masih cinta dan
selamanya akan selalu cinta?Jawabannya adalah Suci. Kenapa Ibu harus memilih
suci untuk maduku?
Aku tak percaya, kedatangan suci malam itu telah merubah
kehidupanku dengan Mas Heru untuk selama-lamanya. Sahabat lamaku itu singgah ke
rumah untuk menginap karena kemalaman saat ada tugas di daerahku. Tentu saja,
rumahku akan selalu terbuka untuknya. Dia adalah sahabat baikku.
“Silahkan saja Suci, tak usah malu .. Memang lebih baik kamu
menginap saja di rumahku, Suamiku tak akan apa-apa. Malah dia akan senang
karena aku jadi punya teman ngobrol. Aku
juga senang kamu mau berkunjung ke rumahku .. Sudah berapa lama juga ‘kan kita
tak jumpa?”
“iya Sin, terimakasih .., untung tadi aku ingat rumahmu dekat
sini. Tadi aku sempat bingung loh mau pulang ke mana. Jalanan sudah sepi, angkutan
umum pun sudah tak ada. Pas aku buka kontak hp masih ada nomer hpmu jadi tanpa
pikir panjang aku hubungi kamu. Beruntungnya kamu sama suamimu mau menjemput
aku .. Makasih ya ..” Saat itulah Ibu mulai menelisik dan mendengarkan
percakapanku dan sahabatku itu. Ibu memata-matai kami.
Suci itu cantik, baik, dan dia bukan bandingannya denganku.
Parasnya, tubuhnya juga gayanya yang memukau, dia itu seperti bidadari. Kenapa
dia belum punya jodoh juga? Itu yang membuat ibu tertarik. Nampaknya Ibu
diam-diam punya rencana.
Setelah Suci menginap di rumahku pada malam itu, Ibu sering
menanyakan tentangnya pada Mas Heru. Mas Heru jadi bertanya padaku, ya tentu Suci
‘kan temanku, pastinya Mas Heru dipaksa
ibu untuk kenal Suci lebih banyak.
Tak pernah aku pikirkan sejauh ini, rupanya rencana ibu
disambut oleh keluarga Suci. Mereka khawatir dengan anak gadisnya yang telah
berumur tiga puluh enam tahun itu akan sulit mendapatkan jodoh. Pinangan ibu
diterima. Aku tak dapat mencegahnya, Begitu juga Suci—sahabat terbaiku—terpaksa
menuruti kehendak orang tuanya. Mas Heru enggan berbicara padaku tentang ini,
karena memang percuma. Niat ibu tak
dapat dihalang-halangi lagi. Dan niatku untuk pergi sebaiknya segera aku
lakukan.
Aku lari dari Mas Heru, kepergianku secara baik-baik selalu
saja dihalanginya. Kulakukan ini bukan karena membencinya. Tapi aku tak sanggup
harus menahan rasa cemburu bila nanti Suci dan Mas Heru bersama. Lebih baik aku
yang mengalah.
Kudengar, setelah kepergianku selama 5 tahun Mas Heru telah
dikaruniai seorang putra. Karena itu aku memilih tetap begini, mencintainya
dari jauh. Hatiku pilu, tapi aku bahagia jika ia bahagia karena itu. Sedih
memang menjadi wanita seperti aku, mertuaku lelah menunggu keturunan dariku,
hingga memilih wanita lain untuk mendapatkan cucu. Aku tak pernah marah karena
aku merasa bukan wanita yang sempurna. Tapi aku tak pernah kuasa melihat wanita
yang harus mendampingi suamiku karena dia sahabat dekatku.
Aku pergi tak tentu arah, hampir tersesat di kota yang
sebelumnya tak pernah aku datangi. Semarang adalah tempatku sekarang. Tinggal
bersama keluarga yang menerimaku bekerja dan aku mengganti namaku menjadi
Jumirah. Aku lakukan agar Mas Heru tak pernah menemukan aku. Walau sebenarnya
ingin aku kembali padanya, tapi bagaimana dengan sahabatku? Menurut saudaraku
di kampung, mas Heru masih mencari keberadaanku bahkan Ia rela menceraikan Suci
untukku. Tapi aku tak mau menerima kabar ini, semuanya hanya akan membuatku
bingung. Biarlah aku mencintainya sebatas do’a dan dia menjadi suamiku selamanya. Sengaja aku menggantung cinta di hatiku
untuknya agar dia tak pernah meninggalkan Suci untukku.